Penulis: Don Ariadi
Orang banyak: Kita protes. Jika kamu membagi-bagi kue dalam irisan kecil-kecil (pribadi), maka akan menjadi amat sulit bagi kita semua untuk mengetahui dimana masing-masing irisan itu dan untuk mengumpulkannya dalam suatu usaha yang menguntungkan.
Pemimpin: Lalu apa saran Anda yang harus kita lakukan?
Orang Banyak: Laksanakan pemilihan umum atas irisan-irisan kue dalam ukuran besar, dan tugaskan kepada kita semua atas satu irisan. Ini akan sangat mempermudah kita untuk mulai membangun masyarakat.
Penyendiri: Tetapi itu akan membuat hidupku lebih susah. Tidak ada yang kuinginkan daripada hidup menyendiri dan bebuat terhadap kue bagianku dengan damai. Kalau anda membagi-bagi kue itu dalam irisan-irisan besar, paling tidak aku akan harus menghabiskan banyak waktu dan tenaga sebelum aku bisa mengiris sepotong kue kecil yang sudah sejak semula menjadi bagianku dari bongkahan besar kue milik bersama itu.
Pemimpin: Lalu, bagaiman kita harus melangkah ke depan? Dan harap jangan lah Anda mengajukan rencana mengharuskan saya untuk mengatakan bahwa suatu paguyuban yang terdiri dari anggota dengan jalan pikiran sama adalah lebih baik atau lebih buruk daripada suasana menyendiri seorang pertapa.
Fenomena di atas adalah dialog sengit yang digambarkan oleh seorang intelektual Amerika yang paling terkemuka pada tahun 1977, Bruce A. Ackerman adalah dilema dalam tahap perkembangan kita pada pembangunan yang harus dititik beratkan pada kesejahteraan yang lebih tulus dan subtantif daripada nilai-nilai Pancasila.
Semacam klise dan kedengaran sterotipikal sebab persoalan itu telah menjadi bagian dari kesadaran banyak kalangan yang terlibat dalam usaha pembangunan nasional antara pertumbuhan dan keadilan sosial yang tercermin dalam alegori “Bagi-bagi kue”.
Apakah kita berusaha memperbesar kue dan baru kelak setelah cukup besar (yang entah kapan dan seberapa besarnya) baru dibagi-bagi. Atau kah kita segera membagi-bagi setiap kali sepotong kue tercipta ke warga sebagaiman upaya penciptaan kemakmuran dirasakan sebagai hal yang sangat mendesak. Pada tahap perkembangannya berdasarkan amanat UUD 1945 bertumpuh pada sebagai tujuan bernegara menjadi fokus dan sumbu pikiran-pikiran reformatif, kerakyatan atau demokrasi dan keadilan sosial.
Wujud paling dilema pertumbuhan dan keadilan sosial terjadi di lingkungan masyarakat kota (Urban) sehingga hal krusial bertumpu di kota-kota, seperti akses informasi, modal dan keahlian, seperti Jakarta, Makassar dan kota besar lainnya. Tumbuhnya kota menjadi megapolis bukan saja fungsi gerak demografis tetapi juga memunculkan fungsi kemandekan atau immobilitas sumber daya.
Terpusatnya kosentrasi modal, keahlian dan juga tenaga kerja. Bangun bangkitnya industri dan tumpuan pembangunan terkosentrasi pada pembangunan ekonomi akan menimbulkan masalah baru terhadap keadilan sosial. Sebagai yang mengalami dan merasakan atau terlibat langsung berbagai peristiwa realitas urban, beberapa kaum terpelajar yang datang dari berbagai daerah, khususnya mereka berkutat dan berproses di organisasi dengan komunikasi dan relasi terhadap para usahawan, politisi dan professional industry kadang lupa dan belum mampuh menerjemahkan antara potensial pembangunan dan keadilan sosal itu seperti apa.
Sering kali beberapa aktivis dan juga pemuda yang entah dari mana menemukan makna identitas aktivis dan pemuda sampai sering kali berjibaku dan berlama dalam gubangan romantisme, hadirnya tokoh-tokoh pemuda dan pentolan aktivis ini disesalkan jika kehadirannya di tengah lingkaran usahawan, politikus dan praktisi lain tidak mengimbangi bahkan sampai terwarnai oleh kepentingan kelompok tertentu. Ini lah keresahan terbesar kita saat ini yang dapat berimplikasi matinya keadilan sosial di tangan para penyambung lidah rakyat.
Aspirasi rakyat bagai bola panas dalam genggaman yang dengan resah dan getir mereka tanggalkan dengan lebih memilih pelukan mesra sang “Mafia Ekonomi”. Jauh terlempar ke tengah padang keterasingan, makna pemuda dan mahasiswa tersesat dalam identitas palsu dan rakyat menangis dalam pelukannya sendiri. Betapapun ”imagine community” bersinggungan atas kepemilikan bersama atas negara bangsa, alegori bagi-bagi kue yang spontan dalam narasi dialoge diatas menjerminkan implikasi negara atas anggaran dan prioritas pembangunan dan upaya merealisasikan keadilan sosial.
Kenyataan mengindikasikan adanya ketimpangan menderingkan tanda bahaya di telingan mereka yang menaruh perhatian terhadap keadilan. Apalagi di negeri kita ini sedang mengalami; sebagaimana dinyatakan oleh G. William Domhoff, para aristocrat bisnis tampak secara pasti menguasai hubungan antar-usaha, khususnya yang berskala besar. Begitu pun juga yang terjadi di Indonesia, Aristokrat bisnis bisa diasosiakan langsung dengan keluarga-keluarga tertentu yang terbatas jumlahnya. Industry besar di Indonesia yang notabenenya juga bejalin dengan kekuasaan, seperti kepemilikan saham industry, yang terlibat langsung dengan cabinet Jokowi, seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, Prabowo dan Luhut B Pandjaitan.
Empat mentri di atas dengan kekayaan di atas Rp 1 Triliun berafiliasi dengan industry pertambangan. Berdasarkan laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, total kekayaan keempatnya mencapai lebih dari Rp13 Trilliun atau setara dengan 54,24 persen total kekayaan dalam kabinet. Monopoly perusahaan raksasa terdapat 6 perusahaan yaitu, PT Bumi Resources, Sinar Mas Mining Group, PT Adaro Energy, PT Indika Energy, dan PT Bayang Resources. Dengan kapasitas pertambangan batu bara lebih dari 285 Juta ton pada 2020 dan menguasai lahan seluas lebih dari 1 juta hectare di berbagai wilayah di Indonesia. Dua perusahaan yang memiliki kapasitas lebih kecil yaitu, Nusantara Group dan PT Toba Sejahtera. Catatan penting juga perusahaan Tiran Group yang dimiliki oleh salah satu menteri Jokowi, Andi Amran Sulaiman.
Dampak dari industry nikel dan batu bara terhadap ekonomi dan kesehatan, berdasarkan study yang dilakukan Celios dan Crea pada tahun 2024 yang menunjutkan bahwa industry di Sulawesi dan Maluku meningkatkan kesenjangan ekonomi dan penurunan kesehatan. Meskipun awalnya menjanjikan keuntungan ekonomi $4 Miliar dalam lima tahun, dampak lingkungan jangka panjang mengurangi manfaat tersebut. Dalam skenario business-as-usual, degradasi lingkungan menyebabkan penurunan manfaat ekonomi pada tahun kedelapan dan kesembilan dan dampak negatif sektor pertanian dan perikanan, dengan kerugian lebih dari $387,10 juta selama 15 tahun.
Analogi di awal tulisan, berdasarkan fenomenologi tergambarkan di atas dapat dengan mudah melihat ke depan tentang dampaknya. Dalam menghadapi keyataan ini, semua yang concered dengan masalah keadilan sosial membutuhkan dan dituntut untuk memiliki kearifan yang besar. Sebab kembali pada metafor “kue”, sudah sejak dari awal jika menunda pembagian kue itu dan menunggu sampai besar, mungkin tidak dan dipastikan tidak akan pernah terbagi secara merata. Sebab untuk menunggu kue itu membesar membutuhkan tangan-tangan terampil, yaitu orang-orang yang mmemilki keistimewaan.
Gowa,18 Oktober 2024