Opini

MENGAIS KHASANAH KEBUDAYAAN; MEMBANGUN BANGSA MENYONSONG ERA TINGGAL LANDAS

×

MENGAIS KHASANAH KEBUDAYAAN; MEMBANGUN BANGSA MENYONSONG ERA TINGGAL LANDAS

Sebarkan artikel ini

Penulis: Don Ariadi R

“Jika suatu masyarakat telah kehilangan identitas budaya bangsanya maka sungguh telah jauh tersesat ke dalam lubang hitam kebudayaan. Ia layaknya ranting rapuh di tengah samudera gampang hanyut dan terombang-ambing oleh gelombang jaman; hilang diri dan keotentikannya sebagai bangsa”.

Telah menjadi kesadaran kolektif suatu negara bangsa bahwa kemajuan lebih banyak ditentukan oleh sumber daya manusianya dibandingkan sumber daya alamnya. Jika menilik kekayaan bangsa kita sendiri, Indonesia adalah negara ketiga yang terkaya (setelah Amerika dan Rusia) kekayaan alamnya. Namun juga bukan berarti bahwa bangsa kita berada di posisi ke tiga dalam hal kategori kemakmuran. Berdasarkan data dari IMD World Talent Ranking Indonesia berada di peringkat 46 dari 67 negara di dunia pada tahun 2024.

Sekalipun kita terus mengalami perkembangan pesat atau bisa dikatakan “Ekponential” namun kita masih tergolong bangsa miskin dan terkebelakang. Kondisi ini merupakan fenomena kontradiktif antara kekayaan alam yang melimpah dengan tingkat kemakmuran yang tergolong rendah.

Salah satu unsur penting sumber daya manusia itu, selain dari keahlian adalah unsur sikap kejiwaan dan mind set yang mendorong kemajuan dan daya cipta kreatifitas manusia. Begitu pentingnya unsur kebudayaan itu sebab dalam historiagrafi peradaban yang menjadi jantung dari babak sejarah tersebut adalah semangat kebudayaan. Konfigurasi budaya amat penting, karena ketulusan dan kesederhanaan berpikir dan berkepercayaan memerlukan keabsahan dan keotentikan.

Sebagaimana diutarakan oleh seorang guru bangsa, Nurcholis Madjid bahwa kita tidak akan memiliki kemantapan dalam kepercayaan, berpandangan hidup, atau etos itu tidak kita rasakan sebagai absah dan otentik apabila tidak adanya rasa kesinambungan dengan masa lalu dan kelestariaannya.

Mental primordial budaya di Indonesia itu memiliki daya lenting yang luar biasa seluas dan sedalam samudera, yang menurut Clifford Geerzt bahwa budaya primordial bangsa Indonesia mampu bertahan secara adaptif, menyerap, gradualistic dan kompromistis. Sudah tentu semua itu ada dalam kepahaman sikap kritis yang merupakan kepahaman tepat dan terbuka sehingga tidak jatuh dalam gubangan atavisme yang menganggap apa saja yang datang dari masa lalu selalu baik dan benar (taken for granted).

Kesinambungan diperlukan untuk mendapat keabsahan dan keotentikan sebagai landasan kemantapan dan kreatifitas. Tetapi kemantapan kreatifitas akan terkunkung oleh sikap atavisme dan berlama nyaman dalam buaian masa lalu sehinggah terjerembab paham post power syndrome. Upaya terhadap sikap kritis dan terbuka adalah telaah terhadap eksistensi nilai budaya, kratifitas dan inovasi mempertahankan yang baik dari yang lama dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Kebudayaan adalah keabsahan dan keotentikan pada garis pandangan hidup dan etos kepercayaan atas kebijaksanaan. Lekat dan intim pada diri manusia yang menjalaninya, bersinergi atas prinsip filosofis dan praktis kearifan pada laku manusia yang berbudaya dan berkeperadaban. Indonesia adalah contoh besar di mata dunia sebagai entitas negara bangsa yang beragam tetapi harmoni dalam perwujudan komunitas imajiner yang kita nyatakan dalam tanah air “Indonesia”.

Di samping atas kesamaan nasib atas penaggungan jajahan Belanda, rasanya memang sulit di pisahkan bahwa faktor penting yang meratakan jalan menuju satu kesamaan budaya di Indonesia adalah agama Islam. Sebagai agama yang banyak dianut juga khasanah peradaban Islam banyak menyediakan rumus-rumus dan konsep budaya nasional yang efektif seperti peristilahan dan fraseologi social-politik seperti istilah, dewan, wakil, rakyat, mufakat, musyawarah, adil, makmur dan seterusnya banyak lagi.

Fenomenologi akulturasi ini dengan budaya lokal yang absah dan otentik tidak bisa dipisahkan dari pembangunan nasional kita. Akulturasi ini biasa kita dapati dalam tubuh lokalitas budaya di Indonesia seperti terpantulkan dalam pepatah budaya suku Minangkabau “Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat” yang sudah kita ketahui bahwa pandangan social politik ini menjadi bagian dari budaya social politik nasional kita “Musyawarah mufakat”.

Di tengah arus problematik tahap era tinggal landas ini transformasi teknologi yang dalam lapisan radiasi kebudayaan Arnold Toynbee adalah lapisan terluar dari suatu peradaban justru menjadi instrument untuk kolonialisasi budaya yang menjarah nilai etik dan spirit religiutas peradaban itu sendiri. Berbagai platform media social kekinian yang kerap digunakan untuk menyebar budaya populer yang krisis nilai justru kerap diserap dan dikonsumsi oleh anak muda-remaja dan tidak terkecuali juga orang tua.

Fenomena itu tidak asing dan tidak lumrah lagi kita temui di tengah kalangan masyarakat kita. Sebagaimana dikemukakan bahwa yang tergeser jauh dari etika moralitas nilai budaya nya ia adalah anak haram dari bangsa nya. Tiada lagi otentik asal nya, hilang jauh kearifan dan kebijaksanaan yang hanya tersisa adalah sekedar identitas palsu yang terpajang secara administratif di kartu tanda pengenalnya.

Inilah yang kita khawatirkan di era tinggal landas ketika bangsa Indonesia telah dijajah secara budaya atas budaya luar maka akan sangat berdampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara kita ke depannya. Rentang menjadi orang yang “kelimpungan” dan “keblinger” terseret oleh jaman dan dilindas sejarah. Inilah mengapa betapa penting nya menanamkan nilai budaya pada prosesi pendidikan kita agar terbentuk karakter bangsa indonesia yang berbudi luhur dan berbudaya beradab.

Maka penyimpangan seperti korupsi akan secara tidak langsung akan diminimalisir atas kesadaran budaya itu. Menciptakan pemimpin yang istimewa dalam menjawab tantangan negara bangsa kita. Sebagaimana seperti telah diceritakan dalam suatu kitab Lontara tentang bentuk kemimpinan terutama soal kejujuran, yaitu, Tociung seorang cendekiawan Luwu yang diminta nasehatnya oleh calon raja Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng. Ia menyatakan ada empat pebuatan jujur, (1) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, (2) ia dipercaya tidak curang, ia diberi amanah bertanggungjawab, (3) tidak menyerakahi yang bukan haknya, (4) ia tidak memandang sebagai suatu kebaikan, apabila hanya dirinya menikmati.

Begitu banyak mutiara nilai budaya yang ada di hamparan Indonesia ini yang tentu nya tertuang dalam Pancasila sebagai ideologi negara dan asas gotong royong adalah merupakan karakter suatu peradaban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »