Opini

“Menimbang Kebijakan dengan Bijak”

×

“Menimbang Kebijakan dengan Bijak”

Sebarkan artikel ini

Opini Oleh: Syarif Larampang Parawali

Di tengah dinamika panjang yang dilalui Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, baik dalam pembangunan fisik maupun pengembangan sumber daya manusia (SDM), muncul sebuah pertanyaan fundamental mengenai peran mahasiswa sebagai agen kontrol, agen perubahan, dan agen moral. Proses ini menuntut mahasiswa untuk berkembang menjadi individu yang tidak hanya kritis tetapi juga penuh empati dan integritas. Kampus, sebagai miniatur dari masyarakat yang lebih luas, sering kali menghadapi tantangan dalam mengelola dinamika internalnya, terutama ketika berhadapan dengan kebijakan yang diambil oleh pihak-pihak berwenang.

Salah satu hal yang menarik dalam proses pengembangan SDM mahasiswa adalah peran mereka dalam memberikan kontrol terhadap kebijakan dan keputusan yang diambil di lingkungan kampus. Sebagai agen kontrol, mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak adil atau kurang efektif. Namun, sering kali, pengambilan keputusan di tingkat kampus dapat menjadi kontroversial dan menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini tidak jarang disebabkan oleh faktor emosional yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, sebagaimana diungkapkan oleh Antonio Damasio dalam karya Fenisia (2019). Damasio menunjukkan bahwa emosi berperan penting dalam pengambilan keputusan; emosi negatif dapat mengurangi kualitas keputusan yang diambil.

Mengambil keputusan dalam keadaan marah atau emosional sering kali menghasilkan keputusan yang tidak optimal. Oleh karena itu, penting bagi para pengambil keputusan untuk tenang dan objektif dalam proses tersebut. Kata bijak dari Ali Bin Abi Thalib, “Jangan mengambil keputusan ketika sedang marah, dan jangan membuat janji ketika sedang senang,” mencerminkan kebijaksanaan yang relevan dalam konteks ini.

Sebagai “mahasiswa”, memahami pentingnya proses pengambilan keputusan yang rasional dan berbasis pada pertimbangan yang matang merupakan aspek penting dari peran mereka sebagai agen perubahan.

Dalam konteks ini, membatasi kreativitas mahasiswa dalam berperan sebagai agen kontrol tidak hanya merugikan potensi individu mereka, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai fundamental yang diajarkan dalam agama. Seperti yang dijelaskan dalam Hadis, “Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Thabrani dan Daruquthni), mahasiswa yang aktif dalam dunia sosial kontrol dan berkontribusi positif kepada masyarakat sebenarnya adalah refleksi dari ajaran tersebut. Begitu juga, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 7, Allah SWT menjanjikan bahwa perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain sama halnya dengan berbuat baik kepada diri sendiri.

Namun, penting untuk diingat bahwa mahasiswa juga harus mematuhi aturan akademik yang ada. Keseimbangan antara kebebasan kreativitas dan kepatuhan terhadap aturan adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kampus yang produktif dan harmonis. Sebagai alumni yang pernah aktif dalam lingkungan kampus, saya merasakan langsung tantangan ini dan memahami betul dampak dari kebijakan yang tidak memadai terhadap proses pengembangan mahasiswa.

Tulisan ini merupakan bentuk kegelisahan dan keresahan atas kenyataan bahwa pengambilan keputusan yang didorong oleh emosi, terutama kemarahan, sering kali membawa malapetaka. Diperlukan sebuah kesadaran kolektif dan refleksi mendalam dari seluruh pihak terkait untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya memenuhi kebutuhan administratif tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

(##)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »