Opini

Filter Bubble Effect

×

Filter Bubble Effect

Sebarkan artikel ini

Oleh: Hamdan eSA
Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Unasman

Tahun 2011, Eli Pariser, seorang seorang aktivis, penulis, dan pengusaha yang dikenal luas dalam mengadvokasi media agar lebih demokratis dan transparan, menerbitkan bukunya —yang bagi saya sangat menarik; “The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You”.

Menarik karena ia mengungkapkan sebuah paradoxa tentang dunia internet; memberi tetapi menyembunyikan, membebaskan tetapi memenjarakan. Jika boleh, saya ingin menafsir judul buku ini bahwa internet adalah suatu real existence, tajalli, alias wujud nyata dari kebebasan sebagai ruang penjara. Ya, kebebasan adalah ruang penjara. Tapi tulisan ini hanya hendak mengulas filter bubble.

Istilah filter bubble merujuk pada fenomena di mana algoritma pada mesin pencari (search engine), media sosial, dan platform online lainnya, menyaring informasi berdasarkan preferensi, perilaku, dan interaksi pengguna sebelumnya dalam berselancar di dunia maya. Lalu, mengacu dari pengalaman lalunya itu, pengguna diberikan konten yang sesuai dengan pandangan dan minat mereka. Dan dihindarkan dari konten yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan mereka.

Filter bubble diciptakan untuk beberapa alasan. Pertama; digunakan untuk mempersonalisasi pengalaman pengguna dengan menampilkan konten yang paling relevan dan menarik sesuai minat mereka.

Kedua; Dengan menampilkan konten yang sesuai minat pengguna, platform berusaha menjaga pengguna tetap terlibat dan puas dengan apa yang mereka temukan dan alami.
Ketiga; dengan begitu pula, platform dapat meningkatkan tingkat interaksi (engagement) seperti like, share, comment, dan retweet.

Keempat; interaksi yang tinggi berarti pengguna lebih sering kembali ke platform, yang menguntungkan bagi model bisnis platform tersebut, terutama bisnis iklan. menampilkan iklan yang lebih relevan dan menarik bagi pengguna, sehingga meningkatkan kemungkinan klik dan pembelian.

Kelima; membantu pengguna menyaring informasi saat berada dalam ruang belantara informasi digital. Sehingga pengguna tidak kewalahan dan dapat menemukan konten yang mereka anggap penting atau menarik dengan lebih mudah.

Memahami kelima poin di atas, filter bubble laksana sebuah fasilitas surga bagi pengguna platform. Sebab fasilitas ini mampu membaca apa yang kita inginkan dan memberikannya secara intens dan sepuasnya. Filter bubble sejenis makhluk digital yang mencatat dan menganalisa keinginan, lalu melayani dan memberikan kepuasan hasrat pengguna.

Namun, filter bubble memiliki konsekuensi lain yang mengancam akar-akar demokrasi. Sebut saja misalnya; dapat memperkuat bias atas pandangan tertentu, mengurangi paparan terhadap pandangan yang berbeda, dan menciptakan lingkungan di mana informasi yang salah atau menyesatkan dapat lebih mudah menyebar. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi dan membatasi pemahaman pengguna tentang perspektif lain yang ada di luar “ruang informasi” (bubble) mereka.

Algoritma menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna berdasarkan aktivitas online mereka, seperti likes, shares, dan klik. Ini menyebabkan pengguna sering kali melihat konten yang memperkuat pandangan mereka sendiri, terhindar dari informasi yang berbeda apalagi berlawanan. Akibatnya, pengguna terpapar pada informasi yang bias dan terbatas.

Ketika pengguna terus-menerus terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, bias dan keyakinan mereka semakin diperkuat. Hal ini dikenal sebagai “confirmation bias” di mana individu lebih cenderung menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka dan mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan.

Hal tersebut akan mengurangi peluang seseorang untuk memahami perspektif lain dan memperkaya wawasan, menyebabkan isolasi dari berbagai pandangan yang ada dalam masyarakat.

Dalam konteks media sosial, filter memungkinkan pembentukan komunitas berdasarkan minat dan pandangan yang sama. Dalam lingkungan ini, informasi yang beredar sering kali seragam dan tidak menantang keyakinan yang ada, dan akhirnya memperkuat homogenitas dan mengurangi keragaman pandangan.

Penguatan bias dan isolasi dari pandangan alternatif dapat menyebabkan polarisasi yang lebih tajam di masyarakat. Kelompok-kelompok dengan pandangan yang berbeda semakin jauh satu sama lain, mengurangi dialog konstruktif dan meningkatkan ketegangan sosial dan politik.

Dalam filter bubble pula, informasi yang salah atau menyesatkan dapat lebih mudah menyebar jika sesuai dengan bias pengguna. Disinformasi ini bisa memperkuat keyakinan yang salah dan menyebarkan ketidakpercayaan terhadap sumber informasi yang kredibel.

Filter bubble selanjunya mengurangi kemampuan kritisisme dan analisis kritis. Terbiasa dengan informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, pengguna menjadi kurang kritis dan tidak terbiasa menganalisis informasi secara mendalam. Ini dapat mengurangi kemampuan untuk mempertanyakan sumber informasi.

Dan terakhir, bahwa paparan yang terbatas pada ide-ide baru dan perspektif yang berbeda yang diberikan melalui filter bubble, dapat membatasi inovasi dan kreativitas. Lingkungan yang homogen tidak mendorong pemikiran di luar kotak atau eksplorasi ide-ide baru yang sering kali muncul dari interaksi dengan pandangan yang beragam.

Filter bubble effect ini terus berproses dan berkembang seiring waktu, memperkuat dan memperluas dampaknya. Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi setiap kita untuk secara aktif mencari informasi dari berbagai sumber, berinteraksi dengan berbagai pandangan, dan tetap kritis terhadap informasi yang mereka terima. Platform-plarform digital juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan algoritma yang lebih inklusif dan mengurangi bias dalam penyampaian informasi.

Filter bubble, mengingatkan saya pada masa kuliah dahulu. Saya pernah bilang pada teman; buat apa jauh-jauh merantau, jika teman berinteraksi atau teman gaul sehari-hari hanya terbatas (baca: terfilter) pada orang sekampung saja? Algoritma, juga mengingatkan saya pada pertanyaan: bagaimana Allah dapat mencatat semua amal perbuatan baik dan buruk, sekecil apapun itu? Dan bagaimana Allah mengunci lisan dan menjadikan seluruh anggota tubuh bersaksi?

Wallahu A’lam.

Manding, 26 Juni 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »