Cerita Mini Oleh: Dr. Hamdan, M.Ag
Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman)
Polewali Mandar. Potretnusantara.co.id – Entah sejak kapan aku mulai senang duduk santai di bawah pohon jambu sebelah teras rumah, setiap hari saat senja menjelang. Tiba-tiba aku merasa, berada di tempat itu lebih wajib dari makan dan tidur.
Awalnya di bawah pohon itu aku hanya senang menikmati masa-masa transisi saat matahari terbenam di barat dan purnama muncul di timur. Kebetulan saja rumahku sedikit di ketinggian menghadap timur. Dari bawah pohon jambu akan dapat menikmati keduanya. Purnama muncul dari balik anggrek di depan rumah, tepat saat mentari benam di ujung persawahan.
Makin asik lagi di penghujung senja, dimana kicauan burung semakin ramai. Mereka seperti saling berebut tempat untuk menyambut malam. Tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali tidur. Sayangnya peristiwa itu hanya terjadi sekali sebulan.
Suatu ketika musim jambu tiba. Setiap hari ibu sibuk menyapu bunga jambu yang berguguran. Tak terasa membentuk buah. Sebenarnya aku kurang peduli lagi pada jambu. Soalnya pohon jambu itu sudah berbuah sejak aku lahir. Dua kali lebih tua dariku.
Hingga akhirnya, buah-buah jambu mulai matang. Meski belum betul-betul matang, ada beberapa yang mulai jatuh dan terguling mencapai tepi bunga bambu yang berfungsi sebagai pagar pembatas. Sore hari, dari jendela aku melihat dia, Bulan, berusaha menggapai-gapai sebiji jambu dari balik pagar bunga bambu itu.
Aku terkejut. Astaga…! Dia si gadis rumah. Ya, gadis rumah, karena Bulan jarang keluar rumah. Gadis manis yang baru hampir setahun balik dari negeri rantau. Aku melompat lewat jendela dan berlari secepatnya, jongkok meraih jambu itu. Dia terkejut. Kami sama-sama berdiri berhadapan di batasi bunga bambu. Dia tersenyum malu-malu. Aku tersenyum penuh gelora.
“Kamu suka jambu? Yang ini belum begitu matang. Aku akan panjat dan mengambilkanmu yang pas matangnya. Berapa pun yang kamu mau.” Aku mencoba menawarkan padanya.
“Hmm… Gak perlu banyak-banyaklah. Cukup dua-tiga biji. Tapi …”
“Tapi kenapa?”
“Tapi tiap hari boleh kan? Hehehe…”
“Boleh. Tapi makannya di sini.”
Begitulah. Setiap sore selama musim jambu kami bersama di bawah pohon jambu. Mungkin sejak itulah, pohon jambu mulai membuka cerita baru. Cerita tentang rasa. Rasa jambu, rasa hati dan rasa senja.
Hingga musim jambu berlalu, kami masih selalu berkesempatan di tempat itu. Aku, sebagaimana dia, menjadi sangat gelisah jika beberapa hari saja tidak bertemu di bawah pohon jambu. Diam-diam, aku bahkan mulai rutin berdoa setelah shalat ashar sebelum menuju pohon jambu;
“Tuhan, jika engkau sengaja memperpanjang usia jambu ini untuk mempertemukanku dengan dia, maka sudilah kiranya engkau panjangkan pula usia kebersamaan kami.”