Opini

Papua dan Otsus, Akselerasi Pembangunan Sumber Daya Manusia

×

Papua dan Otsus, Akselerasi Pembangunan Sumber Daya Manusia

Sebarkan artikel ini

Opini oleh: Ismail Suardi Wekke
Dosen Tamu, Pascasarjana Universitas Amal Ilmiah Yapis Wamena

Papua, Potretnusantara.co.id – Sekalipun telah diteken tahun lalu (2023), Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) kembali dikenalkan ke publik saat kunjungan Wakil Presiden RI, KH. Prof. Dr. Ma’ruf Amien.

Kunjungan Kerja yang diantaranya melawat Wamena dan Sorong menjadi kesempatan strategis, dalam menggaungkan kembali proses percepatan pembangunan Papua dalam fase II otonomi khusus.

Selama dua puluh tahun yang telah terlewati, sebuah capaian tersendiri. Namun tetap saja ada ruang pengembangan dan inovasi.

Masa-masa otsus I, ada masyarakat yang beranggapan bahwa sejatinya itu adalah Islamisasi saja. Termasuk dalam rangkaian kunjungan kerja Wapres ini, ada yang berkomentar bahwa “Islamisasi di depan gereja”.

Masa kepemimpinan SBY, dialihstatuskan dua sekolah tinggi swasta menjadi sekolah tinggi agama Islam negeri. Kemudian di era Jokowi, kedua sekolah tinggi tersebut ditransformasi menjadi institut.

Diantara komentar lain warga, bahwa bagi warga Kristen dan Katolik, tidak satu sekolahpun yang didirikan atau dilembagakan menjadi negeri. Sehingga melihat sekilas ini, sejatinya otsus adalah merupakan agenda keislaman.

Terlepas dari percakapan ini, maka sejatinya otsus ke depan perlu memberi perhatian terhadap pengembangan sumber daya manusia, termasuk institusi pendidikan dalam pelbagai tingkatan. Mulai dari yang paling rendah, sampai yang tertinggi.

Kita bisa lihat satu persatu, seperti perguruan tinggi. Semua perguruan tinggi dalam pelbagai bentuk, akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas, tak satupun yang meraih akreditasi A atau Unggul.

Ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan tidak perlu sampai ke pulau Jawa, tetapi di pulau Sulawesi saja sudah tersedia di pelbagai provinsi institusi yang unggul.

Pertanyaanya “apa yang dapat dilakukan?”. Maka, lagi-lagi tidak perlu jauh belajar. Sebagaimana pembentukan provinsi di tanah Papua, maka ini sifatnya adalah penugasan.

Dosen yang tersebar di seentaro Indonesia perlu dipilih dari pemerintah untuk mendapatkan penugasan. Kalau ini merupakan kebijakan ekstrim, maka program resources sharing yang dijalankan semasa kementerian dikti dulu, perlu dilanjutkan.

Secara bergilir, dosen-dosen se-Indonesia ditawarkan untuk berada di Papua, paling tidak dalam jangka waktu tertentu. Sehingga mereka bisa melatih kolega, mahasiswa, dan tenaga kependidikan untuk memiliki keterampilan tertentu melalui pendampingan intensif.

Sementara dosen-dosen di Papua, diberikan kesempatan untuk juga berada di perguruan tinggi unggul di seentaro wilayah Indonesia untuk juga belajar. Sehingga memungkinkan bisa dilakukan konektivitas paling tidak diawali dengan saling kenal.

Satu hal lagi, sebagai daerah tujuan wisata (DTW), maka Papua memerlukan tenaga terampil dalam sektor pariwisata. Sudah waktunya dibangun politeknik pariwisata sehingga menjadi peluang untuk belajar lebih dekat.

Penulis menjumpai tenaga-tenaga yang bekerja di sektor perhotelan, rumah makan, biro perjalanan, dan daya dukung pariwisata lainnya menempuh pendidikan di Makassar, Surabaya, Manado, dan tempat lainnya yang bukan di Papua.

Betapa biaya tinggi, dan jauh dari rumah untuk mendapatkan kemahiran dan sertifikasi untuk bekerja di bidang kerja pariwisata.

Namun tidak ada ruang untuk bekecil hati. Orang Indonesia, termasuk warga Papua senantiasa punya inisiatif. Barista Papua kemudian melatih yunior dan rekan sebaya lainnya untuk belajar meracik kopi.

Sehingga kita mulai mendapatkan warung kopi yang dikelola mandiri oleh warga Papua. Terlepas ini bukan bagian dari program otsus dalam fase pertama.

Akhirnya, kesempatan warga bertemu dengan wakil presiden menjadi peluang untuk mendialogkan kondisi kontemporer Papua. Dengan adanya empat provinsi baru, menjadi kesempatan mengisi lini kerja di pemerintahan dan politik.

Namun, tidak itu saja. Percepatan pembangunan Papua, juga perlu dilihat dari aspek manusia, dan sebelum itu adalah institusi pendidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »