Potretnusantara.co.id, Wamena, 24 Mei 2024 – Ismail Suardi Wekke, Dosen Tamu Pascasarjana Universitas Amal Ilmiah Yapis (UNAIM) Wamena, kembali menginjakkan kaki di tanah Papua Pegunungan setelah sekian lama. Sebagai pusat pendidikan yang sering disebut Lembah Baliem, Wamena menjadi rumah bagi UNAIM, sebuah universitas yang memberikan kesempatan pendidikan hingga jenjang magister bagi warga setempat.
Wekke mencatat bahwa warga Wamena dan Papua Pegunungan tidak perlu lagi berpindah ke provinsi lain untuk menempuh pendidikan tinggi. Dengan adanya UNAIM di ibu kota Provinsi Papua Pegunungan, mahasiswa dapat mencapai jenjang sarjana hingga magister di tempat mereka sendiri. Namun, Wekke berharap ke depannya akan ada izin untuk penyelenggaraan program doktoral, terutama Doktor Ilmu Manajemen, yang membutuhkan minimal dua profesor sebagai pengampu program tersebut.
Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah memastikan bahwa program studi dan mahasiswa di Wamena memiliki kemampuan yang setara dengan mahasiswa di seluruh pelosok Indonesia. Untuk itu, pembenahan jaringan internet menjadi agenda mendesak. Meski sudah ada akses internet di beberapa tempat, sinyal untuk perangkat mobile masih terkendala di berbagai lokasi di kota Wamena. Oleh karena itu, dukungan perusahaan penyedia jaringan telekomunikasi dan internet untuk berinvestasi di daerah ini sangat diperlukan, termasuk operator yang akan merawat jaringan tersebut.
Selain masalah jaringan, Wekke juga menyoroti kendala operasional seperti tidak berfungsinya mesin ATM yang memerlukan perbaikan cepat. Tantangan alam dan logistik juga menjadi bagian dari perjuangan mahasiswa di Papua. Salah satu contohnya adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang harus terbang dari Yahukimo ke Jayapura dan kemudian ke Wamena untuk duduk di kelas. Biaya perjalanan ini setara dengan biaya terbang antara Jakarta dan Makassar, yang jelas lebih mahal dibandingkan dengan biaya pendidikan di kota-kota lain seperti Surabaya.
Biaya pendidikan yang tinggi ini membuat pendidikan magister di Papua Pegunungan menjadi tidak mudah dan murah. Oleh karena itu, Wekke mengusulkan skema KIP-Kuliah yang tidak hanya terbatas bagi mahasiswa sarjana tetapi juga untuk magister dan doktor. Skema ini diharapkan dapat meringankan beban biaya pendidikan dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat Papua Pegunungan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Dalam perspektif sejarah, Wekke mengingat bagaimana alumnus IAIN Ujung Pandang dulu harus terbang ke Jakarta untuk menempuh studi lanjut di Ciputat. Kini, Makassar telah memiliki program studi doktor di UIN Alauddin, Universitas Muslim Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Makassar, bahkan Parepare juga memiliki program doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Parepare.
Pendidikan di Tanah Papua juga didukung oleh institusi seperti Yapis, YPK, dan YPPK, yang memberikan kesempatan pendidikan tanpa membedakan latar belakang agama. Hal ini menjadi modal sosial yang berharga dalam memajukan pendidikan di Papua, menunjukkan bahwa pendidikan di Tanah Papua tidak terbatasi oleh sekat identitas keagamaan.
Dengan pengakuan keragaman dan praktik pendidikan yang inklusif, Wekke optimis bahwa masa depan pendidikan di Tanah Papua akan terus berkembang dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan masyarakat setempat.