Opini

Cinta Jalanan Desa yang Terluka

×

Cinta Jalanan Desa yang Terluka

Sebarkan artikel ini

Oleh: Irfan Golek (Aktivis Lingkungan)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Di pelosok Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat, ada kisah yang tak tertulis dalam rencana pembangunan lima tahunan atau pidato kenegaraan yang mewah. Di Desa Salumaka, warganya bergotong royong, merogoh kocek sendiri, dan menyewa alat berat demi satu hal yang mestinya menjadi hak dasar: jalan penghubung antar desa.

Mereka tidak menunggu datangnya perintah dari kabupaten. Mereka tidak menanti disposisi dari kantor provinsi. Karena mereka tahu, jika hanya menunggu pemerintah, jalan itu akan tetap berlubang dan kehidupan akan tetap tersendat. Maka, dengan sisa-sisa harapan dari dompet yang tak pernah tebal, mereka melangkah. Tanpa seremoni, tanpa janji politik. Hanya karena satu hal: mereka peduli.

Ini bukan sekadar soal perbaikan jalan. Ini adalah cerita tentang cinta rakyat kepada kampung halamannya,  melainkan cinta yang bahkan lebih tulus dari perhatian negara. Jalan yang mestinya menjadi nadi kehidupan, harus dibangkitkan kembali oleh tangan-tangan warga, oleh rasa tanggung jawab yang tidak pernah mereka lupakan, meski pemerintah sudah lama pergi.

Sementara itu, janji pemerintah terus bergaung, namun tak pernah benar-benar datang. Dalam pidato dan baliho, pembangunan infrastruktur selalu dijadikan sorotan utama. Namun faktanya, warga desa masih harus merogoh tabungan pribadi demi memperbaiki fasilitas umum. Ini bukan hanya ironi, ini adalah kegagalan.

Pemerintah Kabupaten Mamasa dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat patut mendapat kritik keras. Mereka telah lalai dalam fungsi dasarnya sebagai pelayan publik. Infrastruktur dasar seperti jalan seharusnya tidak menjadi beban warga. Ketika rakyat harus turun tangan untuk memperbaiki kebutuhan umum, maka jelas ada yang salah dalam tata kelola pemerintahan.

Langkah swadaya warga Desa Salumaka memang patut diapresiasi. Mereka menunjukkan bahwa semangat gotong royong masih hidup. Namun, kita juga harus jujur: inisiatif semacam ini muncul bukan karena kemajuan, tapi karena keterpaksaan. Karena negara tidak hadir sebagaimana mestinya.

Pemerintah semestinya belajar dari rakyat. Jika tidak bisa hadir membantu, setidaknya jangan biarkan mereka berjuang sendirian. Rakyat tidak menuntut banyak. Mereka tidak meminta pengakuan atau penghargaan. Mereka hanya ingin diperhatikan.

Membangun desa bukan hanya tentang menyusun anggaran dan menggugurkan proyek, tapi tentang merawat rasa: rasa tanggung jawab, rasa keadilan, dan rasa kemanusiaan. Selama rasa itu absen, maka luka-luka di jalanan desa akan terus berdarah dan rakyat akan terus menjadi dokter bagi dirinya sendiri.

Karena cinta kepada tanah kelahiran seharusnya tidak diuji dengan penderitaan yang terus-menerus. Cinta itu semestinya dijawab dengan kehadiran negara. Bukan saat kampanye saja, tapi setiap hari, di setiap jalan desa yang terluka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *