Gowa – Potretnusantara.co.id – Dua mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, S dan T disanksi Drop Out (DO). Akibat melakukan tindakan yang tidak merugikan pihak manapun, sepulang dari memprotes kebijakan yang dikeluarkan pimpinan kampus mereka.
Kejadian itu bermula pada 3 Juni 2024. Saat itu, pukul 12.00 puluhan mahasiswa melakukan aksi demontrasi terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Demonstrasi mulanya berjalan lancar hingga 13.30, massa aksi bergantian menyampaikan orasi ilmiah. Namun pada pukul 14.00, mulai ada upaya pembubaran paksa.
Sempat terjadi negosiasi antara massa dan pihak keamanan. Hingga pada pukul 14.20, massa masuk ke ruangan rapat rektorat untuk audensi bersama pimpinan.
Audiensi itu buntu, tidak ada titik temu antara tuntutan mahasiswa dan kemauan pimpinan. Pada pukul 15.00, massa aksi mulai bubar.
Beberapa di antara mereka beristirahat hingga di belakang Gedung Penjaminan Mutu, letaknya bersebelahan dengan Gedung FSH. Sebelum mereka membubarkan diri pada pukul 18.30, sejumlah petugas Satuan Pengamanan (Satpam) datang memerintahkan untuk bubar. Katanya, portal kampus akan segera ditutup karena pembatasan aktivitas malam.
Di titik itulah Satpam merasa tersinggung. Mereka menganggap para mahasiswa saat itu melontarkan kata-kata kasar saat merespon. Beberapa waktu berselang, datang sekitar 20 lebih Satpam untuk membubarkan paksa. Beberapa di antaranya melalukan pemukulan sembari berteriak “Ini yang demo tadi.”
Ada pula sekitar 10 orang yang bukan bagian pihak keamanan yang melakukan pemukulan. Bahkan mengejar sampai di belakang FSH.
Beberapa mahasiswa mengalami lebam pada bagian pipi dan berdarah di kaki akibat persistiwa itu. Mereka yang tidak terima diperlakukan demikian pada pukul 20:30, melapor ke pihak kepolisian.
Dua hari berselang, 5 Juni 2024, Mahasiswa FSH melakukan aksi unjuk rasa atas tindakan represif yang dilakukan Satpam. Pada saat itu pihak rektorat bersama Dekan FSH melakukan mediasi pihak yang terlibat.
Hingga dibuatlah perjanjian damai antara pihak Satpam yang melakukan pemukulan dengan mahasiswa yang menjadi korban. Perdamaian itu diusulkan oleh pihak pihak rektorat, dalam hal ini Kepala Bagian Kemahasiswaan, Baharuddin. Disaksikan Wakil Dekan Bagian Kemahasiswaan FSH, Rahmatia.
Perjanjian itu berisi kesepakatan bersama untuk agar persoalan tersebut diselesaikan. Baik dalam ranah akademik maupun jalur hukum. Pihak kampus saat itu juga meminta kepada S dan T untuk mencabut laporan. Permintaan itu ditolak.
Hingga mereka diancam secara psikologis untuk tetap mencabut laporan tersebut. “Kenapai, mauko lanjutki?” kata Kepala Bagian Kemahasiswaan, Baharuddin. Saat itu juga, mereka meminta kuasa hukum mereka mencabut laporan. Lalu memberitahu Baharuddin.
Namun anehnya, pada 1 juli 2024, keluar surat pemanggilan dari Komisi Penegakan Kode Etik (KPKE) UIN Alauddin untuk menindak lanjuti kasus yang telah dianggap damai tersebut. Sidang dilakukan pada 3 Juli 2024.
Hingga 29 Juli 2024, hasil sidang KPKE menetapkan pemecatan terhadap dua massa aksi atau mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, S dan T. Tanpa adanya peringatan dan pembinaan.
Rentang waktu dari sidang KPKE 3 Juli sampai keluarnya putusan 29 Juli, Rektor UIN Alauddin, Prof. Hamdan Juhannis mengeluarkan peraturan ‘ajaib’. Pada 25 Juli, Lima hari sebelum SK Drop Out dikeluarkan, Hamdan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 259 Tahun 2024 tentang Ketentuan Penyampaian Aspirasi Mahasiswa Lingkup UIN Alauddin Makassar.
Aturan itu pada pokoknya mewajibkan mahasiswa meminta izin secara tertulis kepada fakultas dan universitas. Paling lambat 3X24 jam sebelum penyampaian aspirasi digelar.
Di aturan tersebut menegaskan, mahasiswa yang menyampaikan aspirasi tanpa adanya izin akan diberi sanksi. Baik itu administratif, skorsing, hingga DO.