Opini

Muharram dan Hari Jumat: Dua Cahaya dalam Satu Gerbang Waktu

×

Muharram dan Hari Jumat: Dua Cahaya dalam Satu Gerbang Waktu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Herman Sijaya
(Pemerhati Budaya Islam, Pengamat Sosial, dan Penulis dari Takalar, Sulawesi Selatan)

Opini, Potretnusantara.co.id – Di antara rentang waktu yang terbentang dalam sejarah peradaban manusia, ada detik-detik yang tidak hanya dilalui, tetapi disucikan. Islam, sebagai agama yang sarat dengan nilai spiritual dan filsafat waktu, mengajarkan kepada umatnya untuk tidak sekadar menghitung hari, tetapi menenun makna dari setiap momen yang Allah karuniakan. Di sinilah 1 Muharram dan hari Jumat bertemu, bukan hanya sebagai penanggalan dan pekan, tetapi sebagai dua cahaya yang menyatu dalam satu gerbang waktu: awal yang baru, dan harapan yang suci.

1 Muharram: Awal Tahun, Awal Kesadaran

Tahun baru Hijriyah bukanlah sekadar pergantian kalender. Ia adalah simbol perubahan, momentum hijrah, dan panggilan untuk berbenah. Dalam sejarah Islam, Muharram menjadi penanda awal perjalanan Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah—sebuah hijrah bukan semata fisik, melainkan transformasi peradaban dari ketertindasan menuju kebebasan iman.

Dalam konteks ini, 1 Muharram menjadi ruang refleksi: apakah kita telah berhijrah dari kebiasaan buruk menuju akhlak mulia? Apakah kita telah menjadikan waktu bukan hanya lintasan, tetapi pelajaran? Sebab waktu dalam Islam bukanlah entitas netral, melainkan sesuatu yang akan menjadi saksi di hadapan Tuhan kelak.

Jumat: Sayyidul Ayyam, Hari Peneguhan Spirit

Jika Muharram membuka gerbang waktu tahunan, maka hari Jumat adalah cahaya mingguan yang selalu hadir mengingatkan manusia pada fitrahnya. Disebut sayyidul ayyam penghulu hari hari Jumat diisi dengan momen paling sakral: khutbah, jamaah dan doa-doa yang dikabulkan.

Bila 1 Muharram jatuh tepat pada hari Jumat, seperti yang kita alami pada tahun ini, maka sesungguhnya kita sedang berada di antara dua limpahan berkah. Momentum ini laksana pelita ganda: satu menerangi perjalanan panjang ke depan, satu lagi menyinari langkah kita setiap minggu.

Waktu dan Filsafat Kebermaknaan

Dalam filsafat Islam, waktu bukanlah garis lurus yang datar dan tanpa makna. Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya ‘Ulum al-Din bahwa waktu adalah tempat bercocok tanam amal, dan siapa yang lalai, maka akan menuai kehampaan. Demikian pula Ibn ‘Arabi menafsirkan waktu sebagai “napas Tuhan” yang hadir dalam kesadaran hamba-Nya.

Kita hidup dalam arus cepat digital, di mana makna waktu semakin dangkal, digantikan oleh agenda dan notifikasi. Namun 1 Muharram dan Jumat yang berjumpa kembali memanggil kita untuk mendiamkan jiwa sejenak, menyalakan lilin perenungan: adakah yang berubah dari kita? Sudahkah kita berani hijrah, meski hanya satu langkah ke dalam hati yang lebih jujur dan suci?

Tradisi Makassar Menyambut Muharram: Dari Bubur Ashura ke Doa Bersama

Di tanah Makassar, khususnya di kampung-kampung pesisir seperti Galesong, masyarakat menyambut bulan Muharram dengan penuh kearifan lokal. Tradisi memasak bubur Asyura, yang disebut “bubur syura”, bukan sekadar ritual makanan, tetapi lambang kebersamaan dan rasa syukur atas nikmat tahun yang baru.

Bubur ini dimasak bersama oleh warga kampung, dari bahan-bahan yang dikumpulkan secara gotong royong: jagung, kacang, beras, kelapa, dan rempah. Proses ini mengajarkan nilai solidaritas sosial, bahwa menyambut tahun baru bukan hanya soal pribadi, tetapi juga kebersamaan dalam masyarakat.

Selain itu, banyak masjid di Makassar menggelar dzikir akbar dan doa awal tahun, yang dibuka dengan pembacaan doa Sayyidul Istighfar dan doa khusus 1 Muharram. Anak-anak kecil diajarkan untuk mengenal sejarah hijrah Rasulullah, sedangkan orang tua saling memaafkan atas kesalahan di tahun sebelumnya. Inilah bentuk internalisasi nilai hijrah dalam laku budaya, bukan sekadar hafalan sejarah.

Ketika Waktu Tidak Lagi Netral

Ketika 1 Muharram bertemu hari Jumat, sejatinya kita sedang diajak untuk tidak menjadi hamba rutinitas. Kita dipanggil menjadi manusia yang sadar, bahwa waktu bukanlah sekadar lintasan, tetapi tangga menuju pengampunan dan perubahan. Seperti Nabi Muhammad SAW yang berhijrah untuk mempertahankan iman, kita pun ditantang untuk berani meninggalkan ego, amarah, dan kelalaian.

Hijrah tidak perlu menunggu tempat baru. Hijrah sejati justru dimulai dari hati yang menolak stagnasi, yang berani memulai dari diri sendiri. Sebab seperti kata pujangga sufistik Jalaluddin Rumi: “Jangan kau menunggu sayap untuk terbang; cukup hilangkan beban yang mengikatmu ke bumi.”

Penutup: Cahaya Itu Masih Menyala

Dua cahaya yang bersinar di 1 Muharram dan hari Jumat adalah penanda bahwa Allah memberi kita kesempatan berulang untuk memperbaiki diri. Di saat sebagian orang hanya menghitung hari, orang beriman justru memperhitungkan amal dan makna.

Mari jadikan gerbang waktu ini sebagai tempat kita menundukkan ego, meneguhkan tekad, dan menyalakan lentera hijrah menuju kehidupan yang lebih bermakna, dunia yang lebih damai, dan akhirat yang lebih dekat.

Selamat tahun baru Islam 1447 Hijriyah!

Gowa, 27 Juli 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *