Opini

Kritik Aktivis Nilai 100 Hari Kerja Bupati Gowa Gagal, Harus Direspon Positif

×

Kritik Aktivis Nilai 100 Hari Kerja Bupati Gowa Gagal, Harus Direspon Positif

Sebarkan artikel ini

Oleh: Marling Parabba (Tokoh Pemuda Gowa)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Program 100 hari kerja merupakan tolok ukur awal terhadap arah, semangat, dan efektivitas kepemimpinan baru di sebuah daerah. Di Kabupaten Gowa, program ini sempat digadang-gadang akan menjadi langkah cepat pemulihan tata kelola pemerintahan, peningkatan pelayanan publik, serta penguatan sektor strategis. Namun, setelah tenggat 100 hari berlalu, berbagai pihak terutama kalangan aktivis dan masyarakat sipil menyuarakan kekecewaan dan mendesak adanya evaluasi serius atas kinerja yang dinilai jauh dari harapan.

Makna Strategis 100 Hari Kerja

Dalam teori manajemen pemerintahan, 100 hari pertama bukanlah waktu yang cukup untuk menyelesaikan semua persoalan, namun cukup untuk menunjukkan arah kebijakan, komitmen moral, dan strategi kerja yang jelas.

Oleh sebab itu, kegagalan dalam periode ini bukan hanya soal belum tercapainya target teknis, tetapi menunjukkan lemahnya fondasi perencanaan dan koordinasi antar-organisasi perangkat daerah (OPD).

Indikator Gagal: Bukan Soal Waktu, Tapi Soal Prinsip

Evaluasi atas 100 hari kerja Bupati Gowa tak dapat dilepaskan dari indikator konkret seperti:

Minimnya transparansi program dan penggunaan anggaran.

Banyak program yang dicanangkan tidak disertai dengan rincian anggaran dan indikator capaian yang jelas.

Padahal, prinsip akuntabilitas menuntut keterbukaan sejak perencanaan hingga pelaksanaan.

Kami hanya melihat program partisifitif yang tidak substantif.

Pelayanan publik stagnan bahkan menurun.

Sektor kesehatan dan pendidikan masih menghadapi keluhan klasik: lambatnya layanan, kekurangan tenaga, dan minimnya fasilitas dasar di desa-desa.

Alih fungsi lahan tak terkendali.

Laju pembangunan perumahan komersil di kawasan produktif seperti Barombong dan Pattallassang menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap keberlanjutan lingkungan dan pangan.

Tambang liar dan rusaknya ekosistem.

Tanah, udara, air, polusi suara dan lemahnya penindakan menyebabkan rusaknya ruas ruas jalan akibat aktivitas tambang yang tak tersentuh, lumpur lumpur yang jatuh ke jalan jalan kampung dan utama menimbulkan polusi udara, suara bahkan menimbulkan korban jiwa di jalan jalan.

Tambang liar dan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya telah berubah jadi momok.

Ketiadaan program terobosan.

Publik menanti inovasi atau setidaknya kesinambungan dari program unggulan sebelumnya seperti “Beautiful Malino”, namun yang muncul justru proyek-proyek simbolik tanpa arah strategis yang jelas.

Promosi beautifull tidak apple to apple dengan komitment pemerintah untuk menjaga keberlanjutan lingkungan sebagai basis filosofis beautiful Malino itu sendiri.

Desakan Evaluasi: Bukan Sekadar Kritik, Tapi Koreksi

Desakan evaluasi dari aktivis bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menyelamatkan. Evaluasi serius seharusnya melibatkan unsur independen, akademisi, masyarakat sipil, hingga tokoh adat, guna membedah hambatan teknis maupun struktural dalam pemerintahan.

Evaluasi ini juga harus dipublikasikan secara transparan agar masyarakat mengetahui bagaimana pemerintah belajar dari kekurangan.

Penutup: Harapan dari Kegagalan Awal
Kegagalan dalam 100 hari pertama tidak selalu berarti kegagalan total dalam periode kepemimpinan. Namun hanya jika kegagalan itu diakui secara jujur, dievaluasi secara terbuka, dan diperbaiki dengan sungguh-sungguh. Kepemimpinan yang baik bukan yang tak pernah salah, tetapi yang berani dikoreksi dan berkomitmen memperbaiki. Kabupaten Gowa membutuhkan kepemimpinan semacam itu, pemimpin yang tidak menjadikan kritik sebagai serangan, melainkan sebagai sinyal untuk bertindak lebih bijak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *