Opini

Reorientasi Strategi Pendidikan: Membangun Pemikiran Alternatif Berbasis Budaya Bangsa

×

Reorientasi Strategi Pendidikan: Membangun Pemikiran Alternatif Berbasis Budaya Bangsa

Sebarkan artikel ini

Oleh: Adrian Hidayat, Peserta Advance Training HMI Badko Sulawesi Selatan

Opini, Potretnusantara.co.id – Dalam menghadapi globalisasi yang penuh dengan perubahan nilai dan identitas, Indonesia menghadapi tantangan yang mendasar di bidang pendidikan yang mengakibatkan hilangnya koneksi dengan budaya yang dimilikinya. Di tengah dominasi sistem pendidikan yang terlalu fokus pada standar internasional dan pencapaian ekonomi global, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengalihkan arah strategi pendidikan nasional kepada sesuatu yang lebih relevan dengan budaya bangsa.

Pendidikan seharusnya bukan hanya menjadi tempat penyampaian ilmu, tetapi juga wadah untuk mentransmisikan nilai-nilai dan membentuk karakter kolektif. Selama ini, kurikulum nasional lebih menonjolkan aspek kognitif dan kompetitif di tingkat global tanpa mengikutsertakan kedalaman nilai-nilai budaya lokal. Hal ini berakibat pada tumbuhnya generasi muda yang mengalami krisis identitas serta menjauh dari akar budaya mereka.

Dalam kerangka ini, pentingnya muncul gagasan mengenai strategi pendidikan alternatif yang berbasis pada budaya bangsa. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk menolak kemodernan, melainkan untuk menjadikannya sebagai tempat dialog antara nilai-nilai lokal dan global. Nilai-nilai, seperti gotong royong, kebijaksanaan terhadap lingkungan, keselarasan sosial, dan etika kepemimpinan tradisional harus diangkat dan dipadukan dalam sistem pendidikan formal maupun non-formal.

Dr. H. A. R. Tilaar berpendapat bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang relevan dengan konteks yang mampu menjawab permasalahan nyata masyarakat dan tidak terkesan hanya meniru model luar. Dalam semangat ini, kebijaksanaan budaya lokal seperti filosofi Makassar tentang siri’ na pacce, tri hita karana yang ada di Bali, serta konsep Jawa tentang ngerti, ngrasa, nglakoni memiliki potensi pedagogis dan andragogis yang dapat menciptakan manusia Indonesia yang utuh, berkarakter, mandiri, dan bermartabat.

Namun, perubahan ini tidak dapat terjadi dengan cepat. Diperlukan penyelarasan kebijakan dari pemerintah, terutama dalam menentukan arah kurikulum, pelatihan pendidik, dan pengembangan ekosistem pendidikan yang menghargai keragaman budaya. Pemerintah daerah juga harus memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan berbasis komunitas, seperti sekolah adat, tempat belajar budaya, dan pendidikan yang berfokus pada pesantren.

Pemikiran yang berbeda ini juga mendorong munculnya jenis kepemimpinan baru dalam sektor pendidikan yaitu kepemimpinan yang bersifat kolaboratif, reflektif, dan berfondasi pada nilai-nilai budaya. Pendidikan tidak hanya harus menghasilkan lulusan yang cerdas dalam akademik, tetapi juga harus menciptakan generasi yang dapat menjaga identitas bangsa dan berperan sebagai agen perubahan sosial.

Sebagai bagian dari generasi muda, terutama anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide ini sangat penting untuk terus diperjuangkan. HMI sebagai gerakan kader dan gerakan intelektual seharusnya menjadi pelopor dalam membangun diskusi pendidikan yang berbasis pada budaya bangsa, sebagai bagian dari tanggung jawab sejarah untuk menciptakan individu yang merdeka, beriman, dan berbudaya.

Membangun masa depan Indonesia tidak hanya cukup dengan mengadopsi metode pendidikan dari luar, tetapi juga dengan merumuskan ide-ide alternatif yang berlandaskan pada kenyataan budaya kita sendiri. Sebab, pada dasarnya, suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang paham dari mana asalnya dan kemana arah tujuannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *