Opini

Islam Yang Takut Dengan Zaman

×

Islam Yang Takut Dengan Zaman

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Ahmad Nouruzzaman, S.E.,M.E

Adv

(Dosen FEBI UIN Palopo)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id –

Ada tipe manusia yang selalu muncul setiap kali dunia berubah. Mereka tidak membaca, tidak meneliti, tidak bertanya, tetapi selalu siap pasang badan. Mereka berdiri paling depan, menunjuk ke arah perubahan, lalu berkata dengan penuh keyakinan: “Ini berbahaya.” Anehnya, bahaya itu sering kali tidak pernah mereka pahami, sebab yang mereka pahami hanya satu hal “rasa takut mereka sendiri”.

Dalam urusan ini, agama kerap dijadikan tameng. Bukan sebagai cahaya, tetapi sebagai perisai, bukan untuk menerangi jalan, tetapi untuk menutup pandangan. Ketika zaman bergerak cepat, sebagian orang memilih berhenti berpikir, lalu menyebut sikap itu sebagai kehati-hatian iman. Padahal, yang sedang terjadi bukan kehati-hatian, melainkan “KEMALASAN INTELEKTUAL DIBERI NAMA KESHALEHAN”.

Islam tidak datang untuk membekukan zaman. Ia tidak diturunkan untuk membuat manusia alergi terhadap perubahan. Tetapi anehnya, setiap kali muncul sesuatu yang baru, entah itu sistem ekonomi, tekhnologi, atau cara hidup, refleks pertama yang muncul bukanlah rasa ingin tahu, melainkan keinginan untuk menutup pintu. Seolah-olah dunia ideal adalah dunia yang berhenti bergerak.

Crypto jadi episode terbaru dari drama dekade ini, sebab ia telah menjadi realitas ekonomi. Jutaan orang terlibat, bertransaksi, bekerja, dan hidup dari sana. Dunia sudah beradaptasi. Pasar sudah terbentuk. Regulasi sudah berjalan. Tetapi sebagian diskursus keagamaan justru baru sibuk bertanya: “Ini apa?”—dan dalam waktu yang hampir bersamaan—“Ini tidak boleh.”

Yang lebih ironis, suara paling keras sering datang dari mereka yang paling jauh dari substansi. Mereka tidak tahu cara kerja sistemnya, tidak paham mekanisme nilainya, bahkan tidak tertarik mempelajarinya. Tetapi mereka sangat yakin untuk menolak. Inilah generasi “Pasang Badan Dulu, Pikir Belakangan”—atau bahkan tidak pernah berpikir sama sekali.

Al-Qur’ān surah Az-Zumār/39: 9 sudah lama mengingatkan tentang perbedaan kualitas manusia:

“Apakah sama Orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”?

Ayat ini sederhana, tetapi pesannya keras “Tidak semua suara layak diberi bobot yang sama”. Namun dalam praktiknya, di ruang publik suara paling bising justru sering dianggap paling shaleh. Masalahnya bukan pada kehati-hatian, sebab islam tidak anti kehati-hatian. Masalahnya adalah ketika kehati-hatian dijadikan alasan untuk tidak belajar.

Prinsip Ekonomi Islam sangat jelas:

“Wa Ahallallāhul Bay’a waharramarribā”/Allah menghalalkan Jual Beli dan mengharamkan Riba”. (Qs. Al-Baqarāh/2: 275).

Prinsip ini memberi ruang gerak luas. Ia menetapkan nilai, bukan membatasi Imajinasi. Ia memberi kompas, bukan rantai, apalagi sistem yang membekukan zaman.

Namun bagi mereka yang takut pada zaman, prinsip ini diubah fungsinya. Dari Kompas menjadi tembok, dari panduan menjadi palu. Semua yang tidak dikenal dianggap ancaman. Semua yang belum dipahami dianggap penyimpangan. Dalam logika ini, Islam bukan lagi Agama yang memandu kehidupan, melainkan alat untuk menghentikannya.

Di titik inilah salah satu ilmu dalam Islam “Fikih Muāmalah” mengalami Nasib Tragis. Ilmu yang seharusnya menjadi bukti bahwa Islam mampu berdialog dengan realitas Ekonomi apa pun justru dipersempit menjadi mesin produksi dalil keharaman. Fikih Muāmalah yang lahir dari keberanian berpikir dipaksa bekerja sebagai alat sensor, bukan untuk menjawab zaman tetapi untuk menolaknya.

Padahal, Fikih Muāmalah adalah bukti paling nyata bahwa Islam itu rasional. Ia lahir bukan dari ruang hampa, tetapi dari Pasar, dari Transaksi nyata, dari Problem kehidupan sehari-hari. Para ulama terdahulu tidak duduk nyaman menunggu dunia berubah, lalu marah. Mereka turun ke realitas, memahami, lalu merumuskan kaidah. Tanpa tradisi ini, Islam tidak akan pernah memiliki Ilmu Ekonomi.

Al-Qur’ān dalam surah Al-Isrā’/17: 36 bahkan memperingatkan secara Eksplisit:

“Dan Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai Pengetahuan tentangnya”.

Ayat ini semestinya membuat kita malu, sebab dalam banyak kasus yang terjadi justru sebaliknya; “Orang-orang paling Vokal adalah mereka yang paling sedikit tahu”. Ketidaktahuan bukan lagi alasan untuk belajar, tetapi justru menjadi modal untuk bersuara. Akibatnya jelas, umat menjadi gagap tekhnologi, peluang ekonomi lewat begitu saja.

Generasi muda bingung antara realitas yang mereka hadapi dan wacana keagamaan yang terasa asing. Lalu dengan enteng, Islam kembali dituduh sebagai penghambat kemajuan. Tuduhan yang sesungguhnya salah sasaran, yang menghambat bukan Islam tetapi cara sebagian umat memperlakukannya.

Allah swt sudah memberi rumus perubahan yang sangat terang, sebagaimana tersebut dalam surah Ar-Ra’d/13: 11:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”.

Yang perlu diubah bukan zamannya, tetapi mentalitas takut belajar. Selama rasa takut lebih dominan daripada rasa ingin tahu, Agama akan terus tertinggal.

Crypto mungkin suatu hari akan usang, digantikan oleh bentuk ekonomi lain. Tetapi jika pola pikir ini tidak berubah, siklusnya akan sama. Zaman bergerak, Ummat panik. Diskursus keagamaan datang belakangan dan Fikih Muāmalah kembali disalahgunakan. Bukan sebagai Logika Islam yang menjawab zaman, namun sebagai alat untuk membekukannya.

Islam tidak pernah Anti Perubahan, sebab yang sering anti justru manusia yang Takut Kehilangan Kenyamanan Berpikir. Membela Agama dengan ketidaktahuan bukan sebuah Keshalehan, namun itu hanya Ketakutan yang diberi nama Kesucian. Jika Agama ingin kembali hadir sebagai penuntun, bukan penonton yang datang terlambat maka keberanian untuk memahami harus didahulukan dari keberanian untuk melarang.

Editor: S PNs

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *