Opini

Ketika Hukum Hanya Menjadi Hiasan dalam Pidato Pejabat: Refleksi Sumpah Pemuda di Balik Luka Keindahan Bulukumba

×

Ketika Hukum Hanya Menjadi Hiasan dalam Pidato Pejabat: Refleksi Sumpah Pemuda di Balik Luka Keindahan Bulukumba

Sebarkan artikel ini

Oleh: Andi Massakili
Demisioner Sekjen DEMA UIN Alauddin Makassar 2020/2021
​Wasekum Bidang Kesehatan Masyarakat Badko HMI Sulsel 2024-2026

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Sumpah Pemuda dan Cermin Kepedulian Sosial
Tanggal 28 Oktober selalu mengingatkan bangsa ini pada ikrar historis Sumpah Pemuda 1928, yang menegaskan tekad untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Namun, makna terdalam dari ikrar itu bukan hanya pada simbol persatuan, melainkan juga panggilan moral untuk menjaga kehormatan tanah air dari segala bentuk ketidakadilan dan perusakan yang dilakukan atas nama kepentingan pribadi.

Dalam konteks itulah, Bulukumba, yang dikenal sebagai Butta Panrita Lopi tanah para pelaut dan pembuat perahu pinisi menjadi cermin bagi kita untuk menilai sejauh mana semangat Sumpah Pemuda masih hidup dalam diri generasi kini. Di balik keindahan pantainya yang memesona, terselip luka akibat praktik-praktik ilegal yang dibiarkan tumbuh: tambang pasir dan batu tanpa izin, peredaran rokok tanpa cukai, penyalahgunaan solar dan LPG bersubsidi, serta praktik parkir liar dan penyerobotan lahan di kawasan konservasi.

Yang menyakitkan bukan sekadar pelanggarannya, tetapi pembiaran yang menjadi budaya seolah hukum di Bulukumba hanya pilihan, bukan kewajiban.

Tambang Ilegal: Ketika Alam Diperdagangkan, Hukum Dipertaruhkan

Truk-truk pengangkut pasir dan batu gunung telah menjadi pemandangan rutin di jalanan Bulukumba. Aktivitas ini berlangsung di banyak lokasi tanpa izin resmi, padahal Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas mengancam pelaku dengan pidana penjara lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.

Namun, di lapangan, pasal itu kehilangan daya. Gurita kepentingan ekonomi dan politik tampaknya lebih kuat daripada norma hukum. Akibatnya, bukan hanya ekosistem sungai dan lahan pertanian yang rusak, tetapi juga rasa keadilan masyarakat yang terkikis perlahan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Andi Massakili, aktivis lingkungan asal daerah ini, “Tambang ilegal di Bulukumba sudah bukan rahasia umum. Yang lebih parah, aktivitas ini seolah mendapat perlindungan diam-diam.”

Rokok Tanpa Cukai: Erosi Kepatuhan Hukum di Akar Rumput

Rokok tanpa pita cukai beredar bebas di pasar dan kios kecil. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai ini menyebabkan kebocoran penerimaan negara, sekaligus menandai lemahnya penegakan hukum.

Ketika pelanggaran kecil dibiarkan, maka pelanggaran besar menjadi lumrah. Di titik ini, krisis moral dan krisis hukum saling berkelindan. Pembiaran atas kejahatan kecil menggerus otoritas negara, menciptakan budaya permisif yang bertolak belakang dengan cita-cita Sumpah Pemuda – cita-cita tentang bangsa yang bermartabat dan taat hukum.

Solar dan LPG Bersubsidi: Dugaan Permainan Oknum di Balik Kelangkaan

Krisis solar bersubsidi yang kerap melanda masyarakat bukan semata persoalan distribusi. Fakta di lapangan menunjukkan aliran bahan bakar subsidi ke sektor ilegal, termasuk alat berat di lokasi tambang dan pabrik pengolahan hasil bumi.
Dugaan keterlibatan oknum aparat dan pegawai instansi tertentu dalam skema penyalahgunaan subsidi semakin menguat. Padahal, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi melarang keras penyalahgunaan BBM bersubsidi, dengan ancaman pidana enam tahun dan denda Rp60 miliar.

Kenyataannya, hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil antre di SPBU, sementara kelompok tertentu menikmati fasilitas negara dengan mudah. Situasi ini menandakan bahwa ketidakadilan struktural masih menancap kuat dalam sistem birokrasi daerah.

Penyerobotan Lahan di Tahura: Konflik Agraria yang Tak Pernah Selesai

Di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bulukumba, penyerobotan dan alih fungsi lahan kian marak. Kawasan lindung yang seharusnya menjadi paru-paru kehidupan justru dirambah untuk kepentingan pribadi.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang keras pendudukan kawasan hutan tanpa izin. Namun aparat kerap hadir hanya setelah konflik meledak. Akibatnya, krisis ekologis berubah menjadi krisis sosial, memperlemah kepercayaan publik terhadap negara.

Parkir Liar: Wajah Kecil dari Korupsi Struktural

Pungutan liar di area publik, terutama dalam bentuk parkir tanpa tiket resmi, mencerminkan lemahnya tata kelola daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum telah jelas mengatur sistem parkir resmi. Namun praktik di lapangan menunjukkan bocornya pendapatan asli daerah dan tumbuhnya ekonomi bayangan yang justru memperkaya segelintir pihak.

Fenomena ini adalah versi mikro dari persoalan makro: korupsi keseharian yang dibiarkan menjadi normal. Negara yang Diam, Pemuda yang Harus Bicara.

Diamnya aparat bukan lagi ketidaktahuan, tetapi pilihan sadar untuk tidak menegakkan hukum. Di tengah situasi seperti ini, pemuda tidak boleh ikut diam. Sebab diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda itu sendiri.

Sumpah Pemuda bukan hanya tentang bersatu dalam bahasa, bangsa, dan tanah air melainkan bersatu dalam keberanian moral untuk melawan pembiaran dan ketidakadilan. Generasi muda harus menjadi pelopor perubahan, penegak etika publik, dan penjaga nurani bangsa, termasuk di Bulukumba.

Menegakkan Hukum sebagai Ikrar Kebangsaan
Menyelamatkan Bulukumba berarti menegakkan hukum dan memulihkan kepercayaan publik. Pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum harus menanggalkan kepentingan politik jangka pendek dan kembali pada amanat konstitusi: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sebagaimana pemuda 1928 mengikrarkan satu tanah air, maka pemuda hari ini harus berikrar untuk satu tujuan: Indonesia yang bersih dari kejahatan terstruktur dan pembiaran sistemik.
Keindahan alam tidak akan berarti apa-apa jika di bawahnya tersimpan kejahatan yang dibiarkan. Luka Bulukumba hanyalah satu potret dari banyak wilayah di Indonesia yang sedang menunggu keberanian generasi mudanya untuk tidak sekadar mencintai negeri dengan kata, tetapi juga dengan tindakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *