Opini

Integrasi Spasial dan Spritual Manjaga Alam Indonesia

×

Integrasi Spasial dan Spritual Manjaga Alam Indonesia

Sebarkan artikel ini

(Catatan: Refleksi akhir tahun bencana banjir dan longsor Aceh dan Sumatera)

Oleh : Muhammad Idris Leo
– TGUPP Pemprov Sulsel 2021-2023
– Ketua Forum Komunikasi Perencana Wilayah Kota (FK-PWK) Sulsel.

Adv

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Bencana banjir bandang dan longsor di Aceh maupun di Sumatera dipenghujung tahun 2025, sontak mengingatkan kita kembali bahwa Indonesia, negeri yang indah ini telah mencatatkan sejarah panjang tentang peristiwa-peristiwa hidrometeorologi yang sangat intens terjadi selama lebih kurang 30 tahun (sejak banjir/longsor di Jambi tahun 1955), dan peristiwa yang sama sampai sekarang masih saja sering melanda diberbagai penjuru nusantara. Sebutlah dalam 5 tahun terakhir, seperti terjadinya longsor dan banjir bandang di Flores Timur dan di Sintang Kalimantan Barat tahun 2021, di Manado tahun 2022, di Malinau Kalimantan Utara tahun 2023, dan yang terbaru tahun ini di Aceh dan Sumatera.

Secara umum peristiwa-peristiwa tersebut diatas, lebih disebabkan oleh perpaduan antara faktor alam (cuaca ekstrim) dan ulah manusia (antropogenik) merusak lingkungan serta aspek pemanfaatan ruang (tata ruang) yang sepenuhnya belum optimal.

I. Cuaca Ekstrim

Tentulah sebagai negara yang bertopografi lautan, daratan hingga pegunungan, dan juga dengan beriklim tropis, sangat mempengaruhi potensi hujan berintensitas tinggi yang turun berhari-hari, hal tersebut menjadi siklus alami yang sangat sulit dihindari disaat musim penghujan tiba.

Selain itu adanya perubahan iklim global, juga berpengaruh terhadap fenomena Siklon Tropis yang bisa memicu terjadinya cuaca ekstrim, ini berdampak pada meningkatkan intensitas dan durasi hujan, dan berpotensi menyebabkan curah hujan bulanan terjadi dalam satu hari.

Kondisi cuaca yang flutuaktif tersebut, oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), secara rutin memantau dan memberi informasi bahwa pada waktu-waktu tertentu sebagian besar wilayah Indonesia mulai dari Sumatra hingga Papua, bila telah memasuki puncak musim hujan, sering berlangsung lebih lama dari biasanya. Demikian halnya dipenghujung tahun 2025 ini, BMKG memperkirakan akan berlanjut hingga awal tahun 2026 atau kemungkinan musim hujan juga akan berlangsung lebih lama dari biasanya.

II. Kerusakan Lingkungan di Hulu

Kurung waktu yang relatif panjang (30 tahun), baik banjir maupun longsor di Indonesia, selain disebabkan oleh faktor alam (cuaca ekstrim), penyebab utama lainnya adalah akibat ulah manusia (antropogenik). Hal ini memicu peningkatan resiko banjir maupun longsor karena faktor antropogenik tersebut, yakni perlakuan manusia itu sendiri terhadap alam. Kegiatan deforestasi atau eksploitasi besar-besaran, terhadap lahan di hutan-hutan dan bukit-bukit maupun di pegunungan-pegunungan ataupun terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya seperti perkebunan, pertambangan dan kegiatan budidaya lainnya. Proses ini selanjutnya memicu terjadinya penebangan pohon-pohon secara liar (ilegal logging) tanpa kendali dan pengawasannya lemah. Akibatnya lereng menjadi curam, kualitas tanah rapuh, bukit atau gunung menjadi gundul. Sebagai catatan khusus bahwa, dalam banyak kasus lahan-lahan yang telah dialih fungsikan ini, baik skala kecil terutama yang luasannya berskala besar, selanjutnya dikuasai pleh pihak tertentu ataupun semacam kapitalis-oligarki, lalu dikelolah secara masif untuk mendapatkan keuntungan maksimal tanpa memperhatikan secara matang aspek ekologisnya. (sebagai contoh kasus, misalnya Perusahaan Terra Drone yang menguasai lahan perkebunan hingga 600.000 Ha.)

Kerusakan-kerusakan hutan yang berfungsi sebagai “spons” di daerah hulu, juga akan berdampak terhadap sungai-sungai menjadi dangkal. Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalami sedimentasi tersebut, menyebabkan daya tampungnya menurun, terutama pada saat debit air bertambah/tinggi akibatnya aliran air sungai menjadi lebih deras, meluap dan menyebar.

Kerusakan lingkungan dihulu yang parah, inilah yang memudahkan terjadinya banjir dan longsor secara langsung, sebab fungsi hutan ataupun bukit/gunung sebagai peredam natural, tidak normal lagi secara siklus alami.

III. Problem Ruang di Hilir

Belum maksimal dan efektifnya pemanfaatan ruang pada wilayah-wilayah perkotaan, juga menjadi permasalahan tersendiri. Adanya pergeseran struktur tata ruang atau fungsi-fungsi ruang yang tidak sesuai lagi dengan perencanaannya. Hal ini tercermin dari permasalahan-permasalahan faktual, diantaranya sebagai berikut :

  1. Maraknya alih fungsi lahan yang tidak pada peruntukannya, hal ini terlihat bertumbuhnya titik-titik baru kawasan permukiman, perdagangan, pendidikan dan sektor lainnya, yang lokasinya tidak sesuai perencanaan tata ruang.
  2. Berdirinya bangunan-bangunan baru pada bantaran/sempadan sungai, pada sempadan jalan, diatas saluran drainase, beralihnya fungsi rumah tinggal menjadi cafe-cafe atau berubah fungsi usaha lainnya.
  3. Masih minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai area resapan air, bahkan terdapat kecenderungan adanya pembangunan-pembangunan fisik yang menutup area-area hijau atau area resapan air alami.
  4. Taman-taman kota yang masih terbatas atau belum memenuhinya standar 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas kotanya. Situasi ini menciptakan unbalance, ketidakseimbangan antara tingkat kebutuhan RTH yang belum terpenuhi, disisi lain RTH yang ada makin tergerus/tertutupi atau makin berkurang luasannya.
  5. Sistem drainase yang buruk, connecting antar drainase (primer, sekunder, tersier) belum terintegrasi secara menyeluruh, banyak yang tersumbat akibat sedimentasi dan penyempitan (bottle neck) maupun akibat sampah yang menutup/menyumbat gorong-gorong, termasuk juga tingginya tingkat sedimentasi pada sungai-sungai (DAS) atau kanal-kanal yang melintasi perkotaan. Kondisi ini mengurangi fungsinya untuk menampung dan mengalirkan air, terutama jika hujan berintensitas tinggi, sehingga terjadi luapan dan limpasan air yang tak terkendali dan menyebabkan banjir. Selain sistem yang buruk, kondisi drainase ini juga, pada sebahagian kawasan permukiman banyak mengalami kerusakan-kerusakan, bahkan ada yang sama sekali belum memiliki drainase, khususnya pada kawasan permukiman padat penduduk, sehingga setiap musim hujan, sangat rawan terendam banjir.
  6. Hal lain yang juga menjadi kontributor terjadinya banjir adalah adanya kondisi ekstraksi air tanah yang berakibat terhadap penurunan permukaan tanah (subsidence), dan secara perlahan menciptakan daerah-daerah genangan air (catchment area). Salah satu penyebabnya adalah tingginya intensitas kegiatan pembangunan-pembangunan fisik di perkotaan.

Dari 3 faktor utama (cuaca ekstrim, kerusakan lingkungan di hulu dan problem ruang di hilir) yang menjadi penyebab terjadinya banjir dan longsor di Indonesia sebagaimana uraian tersebut diatas, maka sesungguhnya sudah dapat diformulasikan konsep, bentuk, serta tahapan penanganannya. Untuk itu maka seyogyanya sesegera mungkin dapat dilakukan langkah preventif sebagai upaya kesiap-siagaan dini, sebelum peristiwa banjir dan longsor terjadi lagi di wilayah-wilayah lain di Indonesia ini.

IV. Pengendalian Spasial-Spritual

Setiap penebangan pohon, pada saat itu juga sesungguhnya sedang menabur ancaman, setiap hujan deras maka ancaman banjir mengintai, setiap ada izin lahan yg ditekeng, disaat yang sama sebenarnya sedang mengesahkan datangnya bencana. Tanpa disadari bahwa tindakan-tindakan seperti ini sudah berlansung lama dan terjadi terus-menerus berulang. Tidak diketahui secara pasti bahwa, sudah seberapa banyak hutan yang ditebang pepohonannya dan seberapa banyak bukit ataupun pegunungan yang sudah digunduli, berapa banyak lagi yang akan dideforestasi dan dieksploitasi. Kesemuanya penuh ketidakpastian dan selamanya akqn menjadi tanda tanya besar, bila pemerintah tidak tegas, masyarakat tidak bersuara, izin tambang dipermudah, sikap inkonsisten terhadap pemanfaatan lahan hutan/gunung dengan mengabaikan regulasi yqng ada.

Oleh sebab itu maka sudah sepatutnya dipersiapkan langkah-langkah nyata dan tepat sebagai upaya pencegahan dini dengan penanganan atau mitigasi di hulu (di hutan-hutan, gunung-gunung) maupun penanganan pemanfaatan ruang di hilir (RTH, kanal/sungai, drainase, catchment area) pada kawasan-kawasan perkotaan.

Untuk itu, maka upaya penanganannya dapat dititikberatkan setidaknya pada 2 aspek mendasar, yakni dengan Pengendalain Spasial dan Pengendalian secara Spritual.

Pengendalian Spasial :

Pengendalian secara Spasial, adalah dengan memperkuat dan memperketat pengawasan serta menerapkan secara tegas penggunaan dan pemanfaatan lahan sesuai regulasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional, termasuk Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), rencana Zonasi maupun rencana teknis tata ruang lainnya.

Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut :

  • Memperketat terbitnya izin-izin baru penggunaan/pemanfaatan lahan pada kawasan hutan, perbukitan, pegunungan dan sungai (DAS).
  • Mengevaluasi seluruh izin- izin penggunaan/pemanfaatan lahan di hulu yang ada saat ini, melakukan moratorium jika dianggap perlu dan dihentikan permanen bila melanggar regulasi.
  • Memaksimalkan fungsi Feasibility Studi (FS) secara obyektif (bukan dokumen formalitas) dalam setiap rencana penggunaan/pemanfaatan lahan baik lahan yang berada di hulu (kawasan hutan, bukit/gunung, sungai) maupun yang di hilir (fungsi-fungsi ruang kawasan perkotaan)
  • Memaksimalkan fungsi ANDAL dan AMDAL (bukan dokumen formalitas) pada setiap rencana penggunaan/pemanfaatan lahan atau ruang di hilir dan di hulu.
  • Mengoptimallan Rekomendasi Teknis (Rekomtek) tata ruang secara obyektif sebgai persyaratan wajib dan mengikat dalam setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan lahan.
  • Diperlukan pemetaan dan identifikasi kawasan hutan, bukit, dan pegunungan yang tergolong rusak (terdeforestasi dan tereksploitasi). Untuk dijadikan data base sebagai bahan informasi dalam menentukan target-target prioritas program reboisasi (kebijakan nasional) yang dilakukan secara bertahap, berkelanjutan dan menyeluruh.
  • Perlu dipertimbangkan dan dikembangkan rancangan Mitigasi Banjir/Longsor, agar infrastruktur, pemerintah dan masyarakat lebih siap menghadapi banjir/longsor. (sejauh ini mitigasi lebih difokuskan pada gempa bumi).
  • Normalisasi sungai dan kanal dari sedimentasi.
  • Pembuatan, perbaikan dan normalisasi saluran-saluran drainase.
  • Memperketat penerbitan izin-izin bangunan yang tidak sesuai RTRW, RDTR, RTBL, Zonasi dan Rencana teknis lainnya.
  • Pembuataan taman-taman kota atau area-area terbuka, guna pemenuhan standar ruang terbuka hijau (RTH) kawasan-kawasan perkotaan.
  • Penerapan aturan secara tegas, dengan memberlakukan Insentif dan Disinsentif bagi pihak-pihak yang melanggar tata ruang.

Pengendalian Spritual :

Mengutip syair dan lirik lagu seorang musisi legendaris Ebiet G. Ade, ……“barangkali disana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana, mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, atau alam mulai enggang bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”……

Sebuah lirik yang sarat akan makna dan pesan religi dan pesan semesta agar manusia seharusnya tetap berdamai dengan lingkungan, melestarikan alam menjaga bumi dalam segala aktifitasnya agar terhindar dari kutukan semesta dan dijauhkan dari kemurkaan Sang Khaliq, Tuhan yang maha kuasa, Allah SWT.

Dalam surat Ar-Ruum ayat 41, Allah berfirman
yang artinya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia ; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Dalam ayat ini ditekankan agar manusia dapat berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dengan berperilaku demikian, maka kita tergolong orang-orang yang bebrbuat kebaikan dan tidak dzalim pada alam semesta, sehingga dengan sendirinya negeri yang indah ini terhindar dari kebinasaan dan terjaga dari datangnya bencana.

Dalam sebuah Hadist yang berbunyi, “Barang siapa yang menghidupkan bumi yang mati, maka bumi itu menjadi miliknya” (HR. Tirmidzi). Hadist ini menyerukan agar kita senantiasa menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan dan menganjurkan untuk menanam pohon.

Untuk itu guna menjaga alam Indonesia yang indah ini dan untuk mencegah datangnya bencana di Nusantara tercinta dimasa-masa mendatang, tentu bukan saja tanggung jawab pihak tertentu atau instansi tertentu saja di Pemerintahan (Kementerian Kehutanan, ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian terkait lainnya saja). Namun merupakan tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah, termasuk tanggung jawab Kementerian Agama dari sisi pencegahan serta pengendalian lingkungan/alam melalui pendekatan-pendekatan secara spritual. Sehingga urusan pelestarian alam, juga patut dipertimbangkan untuk menjadi salah satu kebijakan dan program Kementerian Agama.

Dengan kebijakan dan program tersebut, akan menjadi dasar guna mendorong peran aktif lembaga-lembaga keagamaan serta para pemuka-pemuka agama, para Khiyai/Ustadz, Pendeta, Romo, Biksu dan pemimpin umat lainnya, untuk memberi pencerahan-pencerahan dan penyadaran dalam melestarikan alam kepada masyarakat/umatnya. Baik pada saat kegiatan-kegiatan khusus keagamaan (misalnya materi ceramah Jum’at bagi Muslim) maupun mengedukasi masyarakat/umat secara formal dalam bentuk kegiatan forum-forum seminar dan dalam bentuk aksi nyata.

Dalam suatu penelitian international tentang pelestarian hutan, hasilnya menobatkan Suku atau Komunitas Adat Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan sebagai “penjaga hutan terbaik di dunia”. Dibawa kepemimpinan seorang Kepala Suku atau Ketua Adat yang bergelar “Ammatoa” mampu mengendalikan masyarakatnya dalam melestarikan lingkungan dan menjaga alam. Dengan aturan adat yang sangat ketat, melarang penebangan pohon, perburuan, dan pengambilan sumber daya tanpa kebutuhan mendesak, mereka hidup selaras dengan alam. Kalaupun terpaksa harus menebang pohon, peraturannua adalah menebang 1 (satu) pohon, maka wajib menggantinya dengan menanam 2 (dua) pohon.

Suatu kearifam lokal (local wisdom) yang fenomenal dan mendunia, tentu sangat patut menjadi contoh untuk diterapkan dalam menjaga alam Indonesia yang tercinta ini.

Selamat Tahun Baru 2026 Semoga kedepan, Indonesia lebih bersahabat dengan alam (environmental friendly)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *