Opini

Kolaborasi Pemangku Kepentingan: Jalan Menuju Kemandirian Sosial

×

Kolaborasi Pemangku Kepentingan: Jalan Menuju Kemandirian Sosial

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhammad Fadhil
(Pendamping SDM PKH Kementerian Sosial Republik Indonesia)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Semua stakeholder hari ini memegang peran layaknya penuntun arah kompas bangsa. Kita tidak bisa terus membiarkan masyarakat berjalan dalam lingkaran ketergantungan pada bantuan sosial.

Kompas itu harus kita putar bersamadari orientasi menerima menuju kemampuan mengupayakan, dari tangan yang menunggu menjadi tangan yang bekerja dan mencipta. Inilah tugas besar kita, menyalakan kembali bara kemandirian agar masyarakat tidak hanya berharap ditopang, tetapi mampu berdiri tegak, melangkah dan menjemput kesejahteraannya sendiri.

Di tengah upaya mengentaskan kemiskinan, kita tak bisa menutup mata bahwa ketergantungan masyarakat pada bantuan sosial telah menjadi hambatan yang perlahan melemahkan daya juang. Karena itu, seluruh stakeholder yaitu pemerintah, dunia usaha, akademisi, hingga komunitas harus berkolaborasi mengubah mindset ini.

Kita perlu mendorong pergeseran cara pandang, dari menunggu bantuan menjadi mampu mengupayakan, dari ketergantungan menuju kemandirian. Kolaborasi inilah kunci agar masyarakat tidak hanya keluar dari kesulitan, tetapi benar-benar berdaya, sejahtera, dan mandiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi menunjukkan bahwa bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) memang memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Penelitian di Jawa Tengah pada periode 2019-2023, misalnya, menemukan bahwa ketiga program tersebut berkontribusi signifikan terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) artinya, bansos tetap berperan penting sebagai bantalan awal, terutama dalam memastikan masyarakat miskin tetap bisa memenuhi kebutuhan dasar, mengakses layanan kesehatan, dan mempertahankan pendidikan anak-anak mereka.

Namun, berbagai kajian lainnya juga menunjukkan bahwa efektivitas bantuan sosial tidak selalu berjalan mulus. Evaluasi nasional mencatat bahwa masih ada persoalan ketidaktepatan sasaran, distribusi yang tumpang tindih, hingga minimnya integrasi data. Bahkan, laporan Kompas menyebut hanya sekitar 0,37 persen dari kelompok termiskin yang benar-benar menerima paket bantuan sosial secara lengkap.

Situasi ini memperlihatkan bahwa bansos belum mampu bekerja optimal tanpa perencanaan yang lebih matang dan kolaborasi lintas sektor. Lebih dari itu, sejumlah penelitian juga menemukan kecenderungan ketergantungan: sebagian penerima bantuan lebih memilih mempertahankan status sebagai penerima daripada mengejar peluang peningkatan ekonomi karena merasa cukup dengan bantuan yang diterima.

Mengubah mindset masyarakat dari ketergantungan bantuan sosial menuju kemandirian hanya dapat tercapai jika seluruh stakeholder bergerak dalam satu irama. Pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas harus menyatukan visi bahwa bantuan sosial bukan tujuan akhir, tetapi pintu masuk menuju pemberdayaan. Perubahan mindset tidak cukup dengan menyalurkan bantuan; ia harus dibangun melalui lingkungan yang mendorong masyarakat untuk berani berusaha dan berkembang.

Kolaborasi dapat dimulai dengan membangun ekosistem pemberdayaan yang saling terhubung. Pemerintah menyediakan pelatihan dan akses modal, dunia usaha membuka peluang kerja dan kemitraan usaha, sementara perguruan tinggi menghadirkan riset serta pendampingan berbasis kebutuhan lokal. Komunitas dan tokoh masyarakat berperan menjaga semangat perubahan di tingkat akar rumput, memastikan setiap warga memahami bahwa kemandirian adalah arah yang dituju bersama.

Selain itu, komunikasi yang konsisten antar-stakeholder menjadi faktor penentu. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa bantuan bersifat sementara, sedangkan peluang berkarya dan berdaya adalah jalan menuju kesejahteraan yang lebih kokoh. Dengan visi yang selaras dan langkah yang terkoordinasi, kolaborasi ini akan mampu mengubah pola pikir masyarakat dari menerima menjadi mengupayakan, dari bergantung menjadi mandiri.

Jika semua stakeholder gagal berkolaborasi, konsekuensinya tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga pada efektivitas program pembangunan. Masyarakat akan terus melihat bantuan sosial sebagai solusi utama tanpa berupaya meningkatkan kapasitas diri.

Program-program pemberdayaan yang ada akan berjalan setengah hati atau bahkan sia-sia karena tidak ada dukungan terpadu yang mendorong perubahan perilaku. Akhirnya, ketergantungan ini akan menggerus potensi ekonomi lokal, menurunkan produktivitas, dan memperbesar kesenjangan sosial.

Sebaliknya, ketika semua pihak mampu bekerja sama, potensi perubahan akan jauh lebih signifikan. Kolaborasi yang efektif memungkinkan terciptanya program pemberdayaan yang holistik mulai dari pelatihan keterampilan, literasi keuangan, hingga akses pada peluang usaha. Masyarakat tidak hanya diberi bantuan sesaat, tetapi juga didorong untuk mengenali kemampuan dan peluang yang mereka miliki. Mindset masyarakat pun bergeser: dari penerima bantuan menjadi individu yang proaktif dalam menciptakan kesejahteraan sendiri. Dampak jangka panjangnya adalah terbentuknya komunitas yang mandiri, tangguh, dan produktif, serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan.

Dengan demikian, keberhasilan perubahan mindset masyarakat bukan sekadar tugas satu pihak saja, tetapi hasil sinergi semua pemangku kepentingan. Tanpa kolaborasi, potensi pemberdayaan akan terhambat, dengan kolaborasi yang kuat, masyarakat akan mampu mengubah ketergantungan menjadi kemandirian, dan bantuan sosial tidak lagi menjadi tujuan akhir, melainkan batu loncatan menuju kesejahteraan yang sejati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *