Opini

Peran Komunitas Lokal dan RT/RW dalam Mewujudkan Makassar Bebas Sampah 2029

×

Peran Komunitas Lokal dan RT/RW dalam Mewujudkan Makassar Bebas Sampah 2029

Sebarkan artikel ini

Mashud Azikin, Anggota Dewan Lingkungan Hidup Kota Makassar

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Ketika Pemerintah Kota Makassar menetapkan target Makassar Bebas Sampah 2029, tantangan terbesar bukanlah ketersediaan armada, teknologi, atau kemampuan anggaran. Tantangan utamanya justru terletak pada mengubah perilaku masyarakat dan membangun sistem yang bekerja dari bawah ke atas. Di sinilah dua aktor paling strategis komunitas lokal dan struktur RT/RW memegang peran yang sering luput dari sorotan, namun justru menentukan keberhasilan perubahan.

Target 2029 bukan sekadar slogan. Ia adalah agenda peradaban kota: mengubah budaya “buang selesai” menjadi budaya kelola dari rumah. Karena 70 persen persoalan sampah sebenarnya terjadi sebelum sampah itu meninggalkan rumah tangga.

RT/RW: Garda Terdepan Perubahan Perilaku

Di tingkat RT/RW, solusi pengelolaan sampah bertemu langsung dengan perilaku warga. Mereka adalah struktur sosial yang paling dekat, paling dipercaya, dan paling memahami ritme kehidupan lorong serta kebutuhan warganya. Karena itu, RT/RW memegang peran vital dalam merawat kesadaran kolektif.

Langkah pertama yang paling strategis adalah memastikan setiap rumah memilah sampah. Pemilahan sederhana organik dan anorganik cukup menjadi pintu masuk perubahan besar. Melalui keputusan rapat RT, aturan lokal, dan WA Group warga, pesan tentang pentingnya pemilahan dapat terus diulang dengan bahasa yang sederhana dan relevan.

Keteladanan juga menjadi kunci. Rumah seorang ketua RT atau RW yang konsisten memilah dan mengolah sampah menjadi simbol kuat yang menular. Di lingkungan padat penduduk, contoh nyata lebih ampuh daripada spanduk atau ceramah panjang. Di sinilah pemimpin lingkungan bekerja bukan sebagai pejabat kecil, melainkan sebagai motor perubahan.

Lebih jauh, RT/RW berperan menjembatani warga dan sistem kota. Mereka mengatur titik kumpul sampah pilah, memastikan jadwal angkut sesuai kategori, hingga memberi teguran persuasif bagi rumah tangga yang masih membuang sampah sembarangan. Ketika aturan lokal ditegakkan secara konsisten, perubahan perilaku muncul tanpa perlu bergantung pada sanksi berat.

Komunitas Lokal: Motor Edukasi, Inovasi, dan Harapan Baru

Sementara RT/RW menjadi penggerak struktur, komunitas lokal bekerja sebagai ruang inovasi. Mereka adalah kelompok yang mampu bergerak cepat, kreatif, dan fleksibel dalam mendekatkan isu lingkungan kepada masyarakat.

Komunitas seperti kelompok pecinta lingkungan, bank sampah, pemerhati lorong, hingga kelompok anak muda memiliki kemampuan untuk menghidupkan kesadaran warga melalui pelatihan, kampanye visual, dan kegiatan langsung di lapangan. Edukasi mengenai pengolahan sampah organik, ecoenzym, kompos, maggot, atau biopori menjadi lebih mudah dipahami karena disampaikan dalam format praktik, bukan teori.

Komunitas juga memiliki kekuatan membangun harapan baru. Mereka mengubah ketakutan terhadap sampah menjadi peluang ekonomi. Mereka memperlihatkan bahwa plastik yang dibersihkan bisa menjadi pendapatan, bahwa sampah organik bisa menjadi pupuk rumah tangga, bahwa lorong bisa menjadi ruang hijau yang hidup.

Inisiatif mereka sering kali menjadi contoh yang direplikasi di banyak kelurahan, memperluas gerakan dari satu lorong ke lorong berikutnya. Dalam konteks kota besar seperti Makassar, komunitas lokal adalah energi sosial yang menjaga gerakan tetap menyala.

Kolaborasi: Kunci Menjadi Kota Lumbung Organik Dunia

Target Makassar Bebas Sampah 2029 hanya dapat terwujud jika RT/RW, komunitas lokal, dan kelurahan bergerak dalam satu irama. RT/RW mengurusi perilaku rumah tangga, komunitas memperkaya edukasi dan inovasi, sementara kelurahan menyediakan kebijakan, fasilitas, dan logistik pendukung.

Kolaborasi ini membuat pengelolaan sampah tidak lagi dipandang sebagai urusan Dinas Lingkungan Hidup semata, tetapi menjadi gerakan kolektif kota. Jika setiap rumah mengelola sampah organiknya, jika setiap RT memiliki bank sampah aktif, dan jika setiap komunitas terus mengalirkan inovasi, maka TPA bukan lagi tempat menumpuk sampah, melainkan titik akhir residu yang tidak dapat didaur ulang.

Saat itu terjadi, Makassar bukan hanya menuju kota bebas sampah, tetapi menuju status baru sebagai Kota Lumbung Organik Dunia—kota yang mengolah sampah organik di sumbernya dan memproduksi nilai baru dari sisa konsumsi warganya.

Penutup

Makassar Bebas Sampah 2029 bukan proyek teknis. Ia adalah perjalanan kebudayaan. RT/RW dan komunitas lokal berada di pusat perjalanan ini, sebagai penjaga kebiasaan, penyebar teladan, dan pembangun harapan di lorong-lorong kota.

Jika dua aktor ini bergerak bersama, maka perubahan bukan hanya mungkin, tetapi pasti. Dan Makassar akan menjadi contoh bagi kota lain di Indonesia bahwa revolusi lingkungan terbesar justru dimulai dari rumah, dari lorong, dan dari tangan masyarakat sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *