Opini

Revolusi Kognitif dan Jejak Getaran Kesadaran Manusia

×

Revolusi Kognitif dan Jejak Getaran Kesadaran Manusia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mashud Azikin

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Sekitar 70 ribu tahun yang lalu, sebuah revolusi sunyi terjadi jauh sebelum manusia mengenal kota, negara, atau sains. Revolusi itu tidak meninggalkan prasasti batu, tetapi mengubah cara manusia merasakan dunia. Para antropolog menyebutnya Revolusi Kognitif, sebuah lompatan ketika Homo sapiens tiba-tiba mampu membangun narasi, mengolah simbol, serta menata kepercayaan. Namun di balik istilah itu, tersimpan sesuatu yang lebih subtil: lahirnya resonansi batin yang membentuk awal kesadaran kolektif.

Dalam pandangan ilmiah, kemampuan mencipta cerita merupakan teknologi evolusi. Dengan narasi, kelompok kecil pemburu-peramu dapat bekerja sama lebih erat, membangun kepercayaan di antara yang tidak saling mengenal, serta menyusun aturan moral yang tidak tertulis. Tetapi bila dilihat dari dimensi spiritual-manusia, kemampuan itu ibarat pintu yang membuka saluran energi baru. Untuk pertama kalinya, manusia tidak hanya bergerak berdasarkan naluri, tetapi juga berdasarkan “getaran”, yang dipancarkan lewat nilai, harapan, dan ketakutan yang mereka ciptakan bersama.

Harari menyebut ini sebagai tonggak evolusi mental. Namun dalam kacamata humaniora futuristik, peristiwa ini adalah kelahiran medan resonansi yang hingga kini bekerja sebagai fondasi peradaban. Ia tak tercatat dalam DNA, tetapi memengaruhi keputusan sosial, memicu empati, dan kadang pula memproduksi ketakutan kolektif.

Dari titik itulah, perubahan genetik dan perubahan energi sosial berjalan beriringan. Ketika manusia memilih kerja sama, getaran yang tercipta memperkuat jejaring sosial dan mendorong adaptasi fisik dari perkembangan struktur otak hingga kemampuan bahasa. Sebaliknya, ketika narasi digunakan untuk menaklukkan, mengancam, atau menebar ketakutan, medan resonansi manusia melemah. Dalam sejarah panjang manusia, dua kutub inilah yang selalu bergantian menggerakkan arah peradaban.

Kini, di era teknologi dan kota-kota cerdas, resonansi itu tidak hilang. Ia justru diperkuat oleh jaringan digital. Cerita menyebar lebih cepat dari cahaya moral yang mengiringinya. Satu pesan dapat memantik kepanikan massal, tetapi satu kisah kebaikan dapat pula menembus batas geografis dan menyalakan solidaritas global. Di sinilah letak tantangan futuristik manusia: apakah kita akan membiarkan resonansi negatif menguasai ruang sosial kita, atau memilih merawat getaran kehidupan yang menghubungkan manusia dengan manusia lainnya.

Humaniora futuristik melihat masa depan bukan semata soal teknologi, melainkan bagaimana manusia mengelola gelombang batin yang mereka ciptakan. Ketika kesadaran kolektif memancarkan getaran kebaikan dalam kerja sama ekologis, dalam empati antar-kelompok, dalam penyembuhan bumi maka sejarah manusia tidak sekadar bergerak maju. Ia bertransformasi.

Revolusi Kognitif 70 ribu tahun lalu mengajarkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari perubahan cara manusia bercerita. Masa depan akan ditentukan oleh cerita baru seperti apa yang kita pilih untuk menggetarkan dunia: cerita yang membangun atau cerita yang meruntuhkan. Dan sebagaimana para leluhur kita dulu, kita tetap berdiri pada persimpangan yang sama di antara dua getaran itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *