Opini

Makassar, Kota yang Menempa Rasa dan Waktu

×

Makassar, Kota yang Menempa Rasa dan Waktu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mashud Azikin

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Setiap 9 November, hati saya selalu bergetar dengan cara yang sulit dijelaskan. Kota ini, Makassar, kini berusia 418 tahun. Sebuah angka yang panjang, tapi terasa begitu dekat bagi kami yang lahir, tumbuh, dan menua di pelukannya. Ada sesuatu yang hangat, juga getir, ketika menyadari bahwa waktu yang membentuk kota ini adalah waktu yang sama yang menua di tubuh kita sendiri.

Makassar bukan sekadar tempat di peta ia adalah watak yang menempel di dada. Keras tapi jujur, berisik tapi setia. Di sinilah saya belajar tentang arti rumah: tempat yang tidak selalu sempurna, tapi selalu dirindukan.

Kota yang Mendidik dengan Caranya Sendiri

Dulu, orang tua kami selalu mengajarkan tentang falsafah orang Bugis Makassar yang berkata “Sekali layar terkembang, Pantang biduk surut ke Pantai, “Sebuah kalimat yang sederhana tapi sarat nilai. Dari pelabuhan Paotere hingga gang-gang sempit di Manggala, dari benteng Rotterdam sampai pasar lama di Karuwisi, kota ini mengajarkan bahwa hidup tidak selalu ramah, tapi kita harus tetap tegak.

Makassar menempa warganya untuk tahan banting. Mungkin itu sebabnya, orang Makassar dikenal lugas kadang kasar di luar, tapi hangat di dalam. Kota ini mendidik bukan lewat nasihat, tapi lewat tempaan.

Namun kini, tantangan kita bukan lagi perang atau pelaut asing, melainkan arus zaman yang deras. Kita ditantang oleh kecepatan, oleh kelimpahan informasi, oleh polusi dan kehilangan arah.

Antara Kenangan dan Kehidupan Modern

Kota ini berubah cepat. Dari deru becak menjadi deru mobil listrik, dari kampung nelayan menjadi kompleks apartemen. Tapi di balik perubahan itu, saya sering bertanya: apakah Makassar masih punya jiwa yang sama?

Masihkah anak-anak kita mengenal siri’ na pacce bukan sekadar slogan seremonial, tapi sebagai cermin diri? Masihkah kita melihat laut bukan hanya sebagai objek wisata, melainkan bagian dari kehidupan yang mesti dijaga?

Saya rindu masa ketika kota ini berbau asin, bukan berdebu. Tapi saya juga sadar kerinduan tak boleh menjadi alasan untuk menolak masa depan. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaganya agar perubahan tidak menghapus ingatan.

Menjadi Warga yang Merawat

Mencintai Makassar tidak bisa berhenti pada ucapan. Ia menuntut kesadaran dan tanggung jawab. Menyapu halaman bukan hal kecil, menanam pohon bukan hal sepele, dan memilah sampah adalah bentuk cinta yang nyata.

Kota ini belum sempurna. Tapi mungkin justru di ketidaksempurnaannya itulah kita menemukan makna: bahwa cinta selalu membutuhkan kerja, bukan hanya nostalgia.

Saya sering berpikir, kota ini sudah lebih banyak memberi daripada yang kita sadari udara untuk dihirup, ruang untuk tumbuh, sejarah untuk dibanggakan. Maka, bukankah sudah sepatutnya kita mulai membalasnya, sedikit saja, dengan menjaga agar ia tetap layak ditinggali dan dicintai?

Makassar di Masa Depan

Saya ingin Makassar tetap punya denyut yang manusiawi. Kota yang tumbuh tanpa kehilangan akarnya. Kota di mana laut masih biru, langit masih bisa dilihat, dan orang-orangnya masih saling menyapa.

Hari jadi ke-418 bukan sekadar perayaan usia, tapi ajakan untuk menoleh ke belakang agar kita tak lupa siapa diri kita dan menatap ke depan dengan lebih bijak. Kota ini sudah terlalu lama menjadi saksi. Kini, saatnya kita menjadi penjaga.

Makassar telah menjadi ruang di mana saya belajar tentang keteguhan, kehilangan, dan harapan. Ia membuat saya paham bahwa waktu tidak hanya mengubah, tapi juga memurnikan.

Dan pada akhirnya, mencintai Makassar adalah cara saya berdamai dengan hidup—dengan masa lalu, dengan diri sendiri, dan dengan dunia yang terus berubah.

Makassar, 9 November 2025
Penulis adalah warga asli Kota Makassar, pegiat lingkungan, dan pendiri Komunitas Manggala Tanpa Sekat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *