Opini

Ketika Kepemimpinan Menjadi Kisah: Seni Bercerita dalam Politik (The Art of Political Storytelling)

×

Ketika Kepemimpinan Menjadi Kisah: Seni Bercerita dalam Politik (The Art of Political Storytelling)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mashud Azikin

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – “Rakyat tak hanya butuh pemimpin. Mereka butuh kisah yang bisa mereka rasakan,” kalimat ini mengandung inti terdalam dari seni kepemimpinan dalam politik modern, bahwa kekuasaan bukan sekadar soal kebijakan, melainkan tentang bagaimana kebijakan itu hidup dalam hati rakyat. Seorang pemimpin bisa bekerja siang malam, bisa membangun jalan, jembatan, dan gedung tinggi. Namun tanpa kisah yang menyentuh nurani, semua pencapaian itu akan terasa dingin seperti angka di laporan, bukan denyut kehidupan yang dirasakan bersama.

1. Politik dan Emosi Kolektif

Politik pada dasarnya adalah seni menggerakkan manusia. Dan manusia bukan hanya makhluk rasional; mereka adalah makhluk yang merasakan. Dalam setiap pidato yang menggugah, dalam setiap keputusan yang penuh makna, ada narasi yang menyalakan rasa percaya. Rakyat tidak hanya ingin tahu apa yang dilakukan pemimpinnya, tetapi mengapa ia melakukannya dan apakah kisah perjuangan itu selaras dengan kisah hidup mereka sendiri.

Sejarah menunjukkan, pemimpin besar selalu memiliki cerita. Soekarno tidak hanya membangun negara, ia membangun imajinasi: tentang kemerdekaan, tentang bangsa yang berdiri tegak. Nelson Mandela tidak hanya memerintah Afrika Selatan; ia mempersatukan luka dan harapan bangsanya menjadi kisah penyembuhan.

2. Antara Program Hebat dan Narasi Hangat

Kamu bisa punya program hebat. Kamu bisa kerja tanpa henti. Tapi kalau narasimu dingin dan datar kamu tetap sulit dipercaya.
Itulah kenyataan yang sering luput disadari oleh banyak pemimpin dan pejabat publik.
Program dan kerja keras adalah tubuh dari kepemimpinan. Tetapi narasi cara kamu bercerita tentang visi, nilai dan perjalananmu adalah jiwanya. Tanpa jiwa, tubuh itu berjalan tanpa arah.

Dalam komunikasi politik, narasi bukan sekadar kata-kata indah. Ia adalah jembatan antara logika dan perasaan rakyat. Sebuah program bantuan, misalnya, bukan hanya soal angka penerima manfaat, tetapi tentang wajah seorang ibu yang tersenyum karena bisa menyekolahkan anaknya lagi. Sebuah pembangunan bukan hanya soal beton dan semen, tapi tentang harapan bahwa hidup bisa lebih baik dari kemarin.

3. Dingin dan Datar: Bahaya Teknokrasi Tanpa Rasa

Era digital membawa tantangan baru. Banyak pemimpin kini lebih sibuk dengan data dan grafik ketimbang dengan cerita. Mereka tampil efisien, terukur dan profesional tapi sering kehilangan sentuhan kemanusiaan.
Padahal, publik tidak hanya menilai dari hasil, tetapi dari makna. Ketika pemimpin berbicara tanpa emosi, rakyat sulit merasa terhubung. Mereka melihat pemimpin seperti mesin, bukan manusia. Padahal, kepercayaan politik lahir dari rasa kedekatan emosional, bukan hanya kinerja administratif.

Politik tanpa narasi ibarat rumah tanpa cahaya: megah tapi dingin. Kepemimpinan yang kehilangan empati akan kehilangan arah, karena rakyat tidak hanya butuh tahu apa yang terjadi, mereka butuh merasakan bahwa pemimpinnya peduli.

4. Narasi sebagai Daya Hidup Politik

Narasi yang baik bukanlah propaganda. Ia adalah kejujuran yang dirangkai dengan rasa. Ia membuat rakyat melihat dirinya dalam kisah pemimpinnya. Dalam konteks itu, seni bercerita menjadi alat moral dan sosial: ia menyalakan empati, memulihkan jarak antara penguasa dan rakyat, dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap perjuangan bersama.

Pemimpin yang mampu menuturkan kisah yang hangat, kisah tentang kegigihan, kerendahan hati dan pengorbanan akan dikenang lebih lama daripada pemimpin yang hanya dikenal lewat angka pertumbuhan ekonomi. Karena sejarah manusia tidak ditulis oleh tabel statistik, melainkan oleh cerita-cerita yang menyentuh nurani.

5. Menjadi Pemimpin yang Bisa Dirasakan

Maka, menjadi pemimpin bukan hanya soal bekerja keras, melainkan juga tentang bagaimana kerja keras itu dikisahkan dengan tulus dan bermakna. Sebuah senyum tulus di pasar, sapaan hangat di tengah hujan, atau pengakuan sederhana bahwa “saya pun pernah salah” sering kali lebih kuat daripada seribu slogan politik.

Seni bercerita dalam politik bukanlah tentang pencitraan, melainkan tentang kehadiran yang bisa dirasakan.
Karena rakyat akan lupa angka-angka, tapi mereka tidak akan lupa rasa yang kamu tinggalkan di hati mereka.

Penutup

Akhirnya, kepemimpinan sejati adalah perpaduan antara kerja dan kisah. Kerja adalah bentuk tanggung jawab. Kisah adalah bentuk kemanusiaan dan keduanya harus berjalan bersama agar kekuasaan memiliki makna.

Sebab pada akhirnya rakyat tak hanya butuh pemimpin. Mereka butuh kisah yang bisa mereka rasakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *