Opini

Revisi Program Kepala Daerah: Antara Janji Politik dan Tafsir Anggaran

×

Revisi Program Kepala Daerah: Antara Janji Politik dan Tafsir Anggaran

Sebarkan artikel ini

Oleh: Makmur Idrus Assegaf (Mantan Auditor Inspektorat).

Janji Politik dan Tafsir Aturan

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Setiap kepala daerah datang membawa janji politik. Janji itu bukan sekadar slogan, tetapi utang moral kepada rakyat yang kadang ingin segera “dibayar tunai” setelah pelantikan. Maka bermunculanlah revisi program di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Masalahnya, di sinilah sering muncul tafsir yang rancu: mana revisi yang sah secara administratif, dan mana yang harus melalui persetujuan legislatif (DPRD).

Sebagian pihak buru-buru menuding setiap revisi program sebagai pelanggaran. Padahal tidak semua perubahan berarti menabrak aturan. Pemerintahan bukan benda mati; ia harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Namun, perubahan itu tetap harus berpijak pada dasar hukum, bukan sekadar pelunasan utang kampanye.

Kapan Wajib Persetujuan DPRD

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan. Setiap perubahan yang menyentuh substansi anggaran  baik APBD, Perubahan APBD, maupun kegiatan tahun jamak (lebih dari satu tahun anggaran) wajib dibahas dan disetujui bersama DPRD.

Pasal 317 ayat (1) UU 23/2014 menyebut:

“Kepala daerah mengajukan rancangan perda tentang perubahan APBD kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama.”

Sementara PP 12/2019 menegaskan bahwa persetujuan bersama paling sedikit memuat nama kegiatan, jangka waktu pelaksanaan, jumlah anggaran, dan alokasi anggaran per tahun. Artinya, setiap perubahan yang menyentuh empat unsur itu wajib dibahas bersama DPRD.

Sederhananya: bila revisi berdampak pada uang, lintas tahun anggaran, atau mengubah struktur antar-OPD, maka jalurnya harus lewat DPRD.
Persetujuan DPRD bukan formalitas belaka. Ia berfungsi sebagai rem pengaman agar janji politik tidak menjelma proyek fiktif atau program balas budi. Tanpa rem itu, APBD bisa meluncur liar ke jurang defisit dan opini disclaimer.

Kapan Cukup Melalui Kepala Daerah

Tidak semua revisi perlu dibawa ke ruang paripurna. Jika perubahan bersifat teknis, tidak mengubah total anggaran, tidak menciptakan kegiatan baru, dan tidak memengaruhi indikator utama, cukup disahkan melalui Peraturan atau Keputusan Kepala Daerah (Perbup/Perwali).

Begitu pula bila yang diubah hanya nama kegiatan, sementara output dan outcome-nya tetap sama misalnya “Pelatihan Ketahanan Pangan” diganti menjadi “Bimbingan Teknis Kemandirian Pangan” dengan sasaran identik maka cukup melalui Peraturan Bupati/Walikota.
Persetujuan DPRD baru diperlukan jika perubahan itu mengubah kode rekening, pagu anggaran, atau indikator kinerja utama dalam APBD.

Dalam praktiknya, Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025 menegaskan bahwa penganggaran kegiatan/sub-kegiatan tahun jamak hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan bersama kepala daerah dan DPRD. Namun, untuk revisi nomenklatur tanpa perubahan anggaran, tidak ada kewajiban tersebut.

Tidak perlu menggelar sidang paripurna hanya untuk mengganti judul program agar terdengar lebih keren di baliho. Itu seperti memanggil hakim konstitusi untuk menyetujui desain logo kantor kelurahan.

Pemerintahan yang baik justru ditandai oleh kemampuan eksekutif menyesuaikan program dengan cepat, efisien dan tetap taat aturan. Kelincahan tanpa pelanggaran adalah seni birokrasi modern.

Bahaya Salah Tafsir

Sayangnya, banyak daerah terjebak di dua ekstrem. Ada kepala daerah yang terlalu berani mengubah struktur program tanpa dasar hukum; ada pula DPRD yang terlalu dominan, menganggap semua gerak eksekutif harus lewat palu sidang. Padahal regulasi sudah jelas membedakan antara kebijakan strategis (yang wajib disetujui bersama) dan urusan administratif (yang cukup disahkan kepala daerah).

Bahaya muncul ketika janji kampanye diterjemahkan menjadi program baru tanpa revisi resmi dokumen APBD. Dalam bahasa auditor, itu disebut rekayasa output tampak sah di laporan, tapi menyalahi substansi. Di situlah pintu temuan BPK terbuka lebar, bahkan kadang berujung pada “pendalaman oleh aparat penegak hukum”.

Janji Politik vs Akuntabilitas

Janji politik bukan alasan untuk mengabaikan tata kelola. Kepala daerah boleh berinovasi, tetapi inovasi tanpa dasar hukum hanya akan menjadi bahan tawa di laporan hasil pemeriksaan. Persetujuan DPRD bukan ritual politik, melainkan bagian dari kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah daerah.

Kepala daerah yang cerdas tidak alergi terhadap pengawasan, dan DPRD yang dewasa tidak menjadikan fungsi anggaran sebagai alat sandera. Keduanya harus membaca peraturan yang sama, bukan tafsir politik yang berbeda.

Penutup

Revisi program bukan soal siapa yang lebih berkuasa, tetapi siapa yang lebih patuh pada prinsip good governance.
UU 23/2014, PP 12/2019, dan Permendagri 15/2024 sudah memberi panduan mana yang harus disetujui DPRD, mana yang cukup lewat kepala daerah.
Yang tersisa hanyalah kejujuran untuk mengikuti teks, bukan menekuknya demi kepentingan politik jangka pendek.

Karena pada akhirnya, setiap revisi tanpa dasar akan tetap tertulis di laporan hasil pemeriksaan meski ditulis dengan tinta kampanye.
Dan sejarah, sebagaimana auditor, selalu punya cara untuk mengingat.

Catatan Referensi:

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 311–317)
PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Pasal 89–91)
Permendagri No. 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *