OpiniPeristiwa

Mengapa Perang Kelompok Tak Pernah Padam di Makassar?

×

Mengapa Perang Kelompok Tak Pernah Padam di Makassar?

Sebarkan artikel ini

Ditulis oleh: Aromi Sirajuddin (Barly)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Dalam beberapa hari ini, situasi di wilayah Kecamatan Tallo terasa mencekam. Beberapa kelompok masyarakat setempat terlibat perang kelompok. “Itu luka lama yang terusik kembali,” ujar salah seorang warga yang telah lama bermukim di daerah tersebut.

Luka lama. Istilah itu menggambarkan bahwa persoalan perang kelompok dari generasi ke generasi di Makassar seolah tidak pernah terselesaikan. Ia hanya mereda untuk kemudian muncul kembali, kapan saja ketika ada pencetus di tengah kehidupan sosial masyarakat.

Ironisnya, sebagian besar pelaku justru adalah anak-anak remaja, yang sejatinya masih memiliki masa depan panjang untuk ditempuh. Fenomena ini seakan menjadi potret bahwa kendali sosial, pendidikan, hingga perhatian keluarga begitu longgar. Namun, akar masalahnya jauh lebih dalam: aspek sosial ekonomi yang timpang.

Mengapa Perang Kelompok Terus Berulang?

Banyak kalangan berpendapat, perang kelompok tidak semata-mata persoalan gengsi atau keberanian semu. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari tekanan hidup, sebuah pelampiasan dari masalah sosial dan ekonomi yang tidak kunjung mendapatkan solusi.

Ketika lapangan kerja terbatas, pendidikan tidak sepenuhnya terakses dengan baik, dan kesenjangan sosial begitu nyata, anak-anak muda yang kehilangan arah akan mudah mencari identitas melalui jalan pintas. Perang kelompok menjadi wadah untuk menyalurkan emosi, meski dengan cara destruktif.

Di sisi lain, hadirnya budaya kekerasan yang diwariskan dari generasi sebelumnya juga ikut menguatkan mentalitas ini. Ada semacam kebanggaan semu yang diturunkan, bahwa bertarung adalah bentuk eksistensi. Padahal, dampaknya bukan hanya pada mereka yang terlibat, tetapi juga pada rasa aman masyarakat luas.

Jalan Keluar

Pertanyaannya: sampai kapan siklus ini akan terus berulang? Pemerintah, tokoh masyarakat, hingga akademisi perlu melihat persoalan perang kelompok bukan sekadar tindakan kriminal. Ia harus dilihat sebagai gejala sosial yang lahir dari ketidakberdayaan menghadapi kehidupan yang semakin sulit.

Solusinya tentu tidak sederhana. Dibutuhkan kombinasi penegakan hukum yang tegas, perhatian serius terhadap pendidikan dan lapangan kerja bagi generasi muda, serta pendekatan sosial yang menyentuh akar persoalan di masyarakat.

Selama hal itu belum dilakukan, perang kelompok akan tetap menjadi luka lama yang sesekali bangkit, menjadi momok yang menakutkan di jantung Kota Makassar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *