Opini

Teriakan Jalanan dan Darurat Reformasi Politik: Membaca Suara Rakyat

×

Teriakan Jalanan dan Darurat Reformasi Politik: Membaca Suara Rakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suherman Syach

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Suara lantang “Bubarkan DPR” yang menggema dari jalanan bukan sekadar amarah sesaat. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan panjang rakyat terhadap institusi yang seharusnya menjadi rumah aspirasi mereka. Selama lebih dari dua dekade pasca-Reformasi 1998, harapan besar dititipkan pada demokrasi. Namun, yang tampak hari ini justru jurang yang makin lebar antara elit politik dan rakyat biasa. Teriakan itu adalah alarm keras bahwa ada yang salah dengan perjalanan demokrasi kita.

Reformasi 1998 membawa janji besar, runtuhnya rezim otoriter, hadirnya kebebasan sipil, multipartai dan pemilu langsung. Namun kenyataannya, demokrasi yang dibangun lebih banyak berhenti di level prosedural. Pemilu rutin memang berjalan, partai-partai silih berganti tampil, DPR terbentuk melalui mekanisme elektoral. Tapi secara substantif, keadilan sosial dan kesejahteraan yang dijanjikan Reformasi tak kunjung terwujud.

Di sinilah letak paradoksnya. DPR yang secara konstitusi adalah representasi suara rakyat, justru sering dipersepsi sebagai menara gading para elite. Keputusan-keputusan strategis sering lebih berpihak pada kepentingan partai politik dan kelompok tertentu ketimbang pada aspirasi masyarakat luas. Kekecewaan publik makin bertambah ketika berbagai skandal, tunjangan fantastis, hingga gaya hidup mewah politisi mencuat ke permukaan.

Data survei turut mengonfirmasi krisis kepercayaan itu. Berbagai lembaga menunjukkan menurunnya tingkat trust publik terhadap DPR dan partai politik. Parpol yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan negara, kini justru menjauh. Mereka lebih sibuk membangun mesin elektoral, mengandalkan figur populer dan kekuatan logistik, ketimbang melahirkan gagasan dan program nyata. Akibatnya, rakyat merasa semakin ditinggalkan.

Seruan “Bubarkan DPR” dalam konteks itu tidak bisa dibaca secara tekstual semata. Secara hukum tata negara, tentu membubarkan DPR hampir mustahil. Tapi teriakan itu adalah bahasa simbolik. Ia adalah metafora frustrasi rakyat terhadap sistem politik yang dianggap tidak sehat. Seruan itu mirip sirine darurat: tanda bahaya bahwa ada yang perlu segera diperbaiki, bukan sekadar diejek sebagai teriakan tanpa makna.

Jika kita mundur ke belakang, Reformasi 1998 adalah momentum emas untuk menata ulang politik Indonesia. Namun dua dekade kemudian, reformasi itu terlihat mandek. Oligarki makin menguat, politik dinasti kian subur, sementara aspirasi rakyat makin jauh dari meja DPR. Reformasi yang dulu melahirkan harapan kini dinilai melahirkan kekecewaan baru, karena demokrasi justru dikuasai oleh segelintir elite yang saling berbagi kekuasaan.

Kesenjangan sosial dan ketidakadilan memperburuk keadaan. Di satu sisi, publik melihat berita tentang rapat DPR di hotel mewah, kunjungan kerja ke luar negeri dan fasilitas super. Di sisi lain, rakyat harus menghadapi harga kebutuhan pokok yang melonjak, pekerjaan yang sulit didapat, hingga pelayanan publik yang tidak memadai. Kontras inilah yang membakar amarah kolektif dan memunculkan teriakan di jalanan.

Bahaya terbesar dari krisis kepercayaan adalah lahirnya demokrasi tanpa trust. Demokrasi tanpa kepercayaan hanyalah panggung kosong: ramai, bising, tapi hampa makna. Rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan bisa memilih dua sikap ekstrem: turun ke jalan dengan amarah, atau justru menjadi apatis. Keduanya berbahaya. Yang pertama bisa memicu instabilitas politik, sementara yang kedua bisa melumpuhkan demokrasi dari dalam.

Jika kita belajar dari negara lain, banyak pelajaran penting. Korea Selatan dan Taiwan pernah berada dalam situasi serupa. Mereka berhasil keluar karena berani melakukan reformasi politik secara serius: membatasi dana politik gelap, membuka akses rekrutmen politik yang lebih transparan, dan memperkuat peran masyarakat sipil. Afrika Selatan juga menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas lembaga legislatif setelah masa apartheid.

Indonesia pun butuh gelombang baru reformasi politik. Bukan sekadar reformasi jilid dua dalam jargon politik, tapi reformasi yang nyata, radikal, dan konstitusional. Rakyat tidak menginginkan tambal sulam kosmetik, melainkan perubahan mendasar. DPR harus direformasi dari sistem rekrutmen politik, tata kelola anggaran, hingga fungsi legislasi agar kembali relevan dengan kebutuhan rakyat.

Agenda reformasi politik ini mencakup beberapa hal mendesak. Pertama, rekrutmen politik yang berbasis merit dan integritas, bukan semata-mata popularitas atau kekuatan logistik. Kedua, transparansi dana partai politik, agar rakyat tahu dari mana sumbernya dan ke mana perginya. Ketiga, pembatasan politik dinasti yang kian mencengkeram demokrasi lokal. Keempat, penguatan fungsi legislasi dan pengawasan DPR, bukan sekadar sebagai stempel pemerintah.

Selain itu, pendidikan politik rakyat harus digarap serius. Demokrasi hanya akan sehat jika rakyat melek politik. Namun kenyataannya, parpol jarang hadir memberikan pendidikan politik, kecuali menjelang pemilu dengan janji-janji kosong. DPR pun jarang turun ke bawah menyerap aspirasi secara langsung. Padahal, politik sejati seharusnya hadir di tengah rakyat, bukan hanya di ruang rapat ber-AC.

Menutup jarak antara rakyat dan wakilnya adalah pekerjaan besar. DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar wakil rakyat, bukan wakil partai. Transparansi kinerja, keterbukaan komunikasi, hingga kedekatan dengan rakyat menjadi kunci. Tanpa itu, DPR hanya akan menjadi menara gading, terputus dari realitas sosial yang diwakilinya.

Maka, teriakan “Bubarkan DPR” sesungguhnya bukan serangan terhadap demokrasi, melainkan panggilan untuk menyelamatkan demokrasi. Rakyat sedang berkata: kami muak dengan sistem politik yang ada, dan kami ingin perombakan. Ini adalah alarm yang jika diabaikan bisa meruntuhkan legitimasi lembaga negara lain. Rakyat sedang mengetuk pintu agar politik kembali ke jalurnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *