Opini

Gencatan Senjata sebagai Strategi Ekonomi: Siapa Bermain di Balik Layar?

×

Gencatan Senjata sebagai Strategi Ekonomi: Siapa Bermain di Balik Layar?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Herman, S.Sos (Pemerhati Geopolitik Kawasan Islam)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Gencatan senjata antara Iran dan Israel, dua negara dengan sejarah panjang permusuhan ideologis dan strategis, sering kali dipandang sebagai upaya humanis yang patut diapresiasi. Namun, dalam kerangka geopolitik dan ekonomi global, tidak sedikit analis yang memandang bahwa gencatan semacam ini lebih bersifat instrumental, sebagai bagian dari strategi jangka menengah untuk mengamankan kepentingan ekonomi nasional dan global (Klare, 2012; Fawcett, 2020).

Di balik hentinya suara roket dan ledakan drone, ada kalkulasi pasar energi, tekanan korporasi global, dan keseimbangan investasi yang ikut memengaruhi keputusan politik negara-negara yang terlibat.

Gencatan Senjata dan Logika Ekonomi Global

Menurut Michael T. Klare dalam bukunya The Race for What’s Left (2012), konflik di kawasan kaya sumber daya seperti Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari motif penguasaan dan stabilisasi pasokan energi. Iran, sebagai salah satu eksportir minyak dan gas alam terbesar dunia, dan Israel, sebagai hub teknologi dan intelijen kawasan, menyadari bahwa ketegangan berkepanjangan menimbulkan kerugian domestik yang tidak bisa terus diserap.

Stabilitas Pasar Energi

Kawasan Teluk dan Levant secara langsung mempengaruhi harga minyak mentah dunia. Data dari OPEC dan IEA (2023) menunjukkan bahwa setiap lonjakan konflik bersenjata di kawasan ini menyebabkan fluktuasi harga minyak global hingga 10–15%. Volatilitas harga ini bukan hanya membahayakan produsen, tetapi juga konsumen besar seperti Tiongkok, India, dan negara-negara Eropa.

Dalam konteks ini, gencatan senjata bisa dianggap sebagai instrumen yang digunakan oleh negara-negara besar untuk menstabilkan pasar energi dan meredam spekulasi berlebihan (International Crisis Group, 2024).

Siapa Bermain di Balik Layar?
1. Amerika Serikat dan Uni Eropa
AS memiliki kepentingan ganda: menjaga keamanan sekutunya (Israel) sekaligus menekan eskalasi yang dapat berdampak pada harga domestik energi. Selain itu, dengan mulai beralih ke energi hijau, AS cenderung mengupayakan deeskalasi konflik untuk mempercepat transisi pasarnya (Brookings Institution, 2023).

Uni Eropa, melalui kebijakan Green Deal, sangat rentan terhadap krisis energi yang dipicu konflik Timur Tengah. Oleh karena itu, tekanan diplomatik untuk gencatan senjata dari Brussel dan Washington bukan semata humanis, melainkan juga strategis dalam dimensi pasokan energi dan investasi.
2. Cina dan Rusia
Sebagai kekuatan tandingan Barat, Cina dan Rusia memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah, terutama dengan Iran sebagai mitra kunci. Proyek energi lintas negara seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan North–South Transport Corridor sangat bergantung pada stabilitas kawasan. Oleh karena itu, Cina sangat mungkin mendorong Iran agar melakukan deeskalasi sementara (CFR, 2023).
3. Korporasi Multinasional
Beberapa perusahaan besar seperti BP, Shell, Total Energies, serta perusahaan teknologi pertahanan seperti Raytheon dan Rafael, memiliki peran terselubung dalam dinamika ini. Mereka mendapatkan keuntungan saat perang meletus (melalui kontrak militer), namun juga membutuhkan ketenangan untuk mengelola rantai pasok, proyek infrastruktur, dan investasi jangka panjang.

Menurut laporan dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI, 2023), korporasi pertahanan sering menjadi aktor penting dalam menentukan arah diplomasi tak resmi di negara-negara konflik.

Iran dan Strategi Ekonomi Bertahan

Iran sedang dalam posisi rentan: tekanan ekonomi dari sanksi AS, protes domestik, dan penurunan ekspor minyak membuat negeri ini perlu menata ulang strategi. Gencatan senjata dapat dilihat sebagai bagian dari strategi jangka pendek untuk mendapatkan ruang napas fiskal, terutama dalam ekspor ke Cina dan India, serta mendekati negara-negara Teluk seperti Qatar dan UEA (Chatham House, 2024).

Gencatan juga memberi Iran narasi diplomatik bahwa mereka siap berdamai dan rasional dalam bernegosiasi, termasuk dalam kerangka JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) yang sempat dibekukan oleh pemerintahan Trump.

Israel dan Stabilitas Politik Domestik

Sementara itu, Israel menghadapi krisis legitimasi internal akibat konflik politik, protes reformasi yudisial, dan tekanan masyarakat sipil. Gencatan memberi pemerintah waktu dan ruang untuk meredam oposisi domestik, sekaligus menenangkan investor internasional yang melihat kawasan sebagai zona risiko tinggi.

Israel juga berkepentingan menjaga aliansi ekonomi baru seperti Abraham Accords, yang akan terganggu jika konflik dengan Iran semakin membesar. Proyek-proyek kerja sama energi dan infrastruktur dengan UEA dan Bahrain tidak mungkin berjalan jika perang terus berlanjut.

Kesimpulan: Perdamaian yang Dikendalikan Modal

Gencatan senjata antara Iran dan Israel tidak bisa hanya dibaca sebagai tindakan moral. Ia harus dibaca dalam konteks yang lebih luas: sebagai hasil dari tekanan, lobi, dan negosiasi antara kepentingan strategis, pasar energi, dan kekuatan modal global. Jika konflik adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain (Clausewitz), maka gencatan hari ini adalah politik ekonomi dengan wajah kemanusiaan.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah mereka benar-benar berdamai, tapi: Untuk siapa mereka berdamai, dan sampai kapan kepentingan itu bertahan?

Gowa, 01 Juli 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *