Opini

Dari Teluk Persia ke Jakarta: Gencatan Senjata Iran-Israel dan Arah Baru Politik Luar Negeri RI

×

Dari Teluk Persia ke Jakarta: Gencatan Senjata Iran-Israel dan Arah Baru Politik Luar Negeri RI

Sebarkan artikel ini

Oleh: Herman Sijaya
(Pemerhati Geopolitik Kawasan Islam)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Peristiwa gencatan senjata antara Iran dan Israel belakangan ini bukan sekadar jeda dalam konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah. Ia adalah titik balik yang berpotensi besar bagi konstelasi keamanan global. Bagi Indonesia, ini bukan saatnya bersikap diam. Di balik senyapnya peluru dan bom, terbuka ruang diplomatik yang dapat dijelajahi oleh Jakarta. Pertanyaannya: akankah Indonesia melangkah?

Memahami Gencatan Senjata: Lebih dari Sekadar Damai Sementara
Konflik Iran-Israel tidak hanya berbasis pertentangan teritorial atau agama, tetapi merupakan pertemuan silang dari banyak kepentingan global ideologi, energi, militer, dan pengaruh kawasan. Israel menuduh Iran terus mendanai kelompok proksi dan mengembangkan program nuklir, sementara Iran menilai kehadiran Israel sebagai ancaman eksistensial terhadap dunia Islam.

Dalam bayang-bayang konflik inilah, keputusan kedua negara untuk menghentikan agresi bersenjata merupakan sinyal yang patut diperhatikan. Meski hanya bersifat sementara, gencatan ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak sedang menghitung ulang risiko dan manfaat dari eskalasi lanjutan. Di sinilah peluang Indonesia muncul: sebagai negara dengan kredibilitas netral, populasi Muslim terbesar, dan jejak diplomasi damai yang panjang.

Mengapa Indonesia Harus Peduli?
Pertama, dari aspek ekonomi dan energi, stabilitas di Timur Tengah khususnya Iran sebagai anggota OPEC berpengaruh besar pada fluktuasi harga minyak dunia. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia rentan terhadap lonjakan harga akibat konflik. Gencatan senjata memungkinkan terciptanya stabilitas harga, memberikan ruang bagi kebijakan fiskal domestik yang lebih adaptif, termasuk subsidi energi dan pengembangan EBT.

Kedua, dari aspek geopolitik, Indonesia selama ini dikenal dengan politik luar negeri bebas aktif. Sikap ini menjadi modal kuat untuk menjembatani komunikasi antarnegara yang terlibat konflik. Indonesia memiliki reputasi global yang baik sebagai penengah, sebagaimana telah ditunjukkan dalam penyelesaian konflik di Aceh dan Filipina Selatan.

Ketiga, dari perspektif keislaman global, Indonesia memiliki posisi moral yang kuat. Dunia Islam menanti sosok pemersatu di tengah polarisasi antara negara-negara Timur Tengah. Indonesia bisa memainkan peran sebagai penengah yang menjunjung nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan universal.

Jalan yang Perlu Ditempuh
Tentu, peran aktif Indonesia tidak bisa sekadar retorika diplomatik. Dibutuhkan langkah konkret dan bertahap. Ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah:

Membangun Diplomasi Multilateral dan Antarumat
Melalui peran aktif di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia dapat menginisiasi pertemuan khusus untuk membahas pemantapan gencatan senjata Iran-Israel dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan. Indonesia juga bisa mendorong dialog lintas agama dan budaya sebagai jembatan penyelesaian konflik ideologis.

Mengaktifkan Jalur Diplomasi Kedua (Track II)
Melibatkan think tank, akademisi, LSM internasional, dan tokoh masyarakat dari berbagai negara untuk menyusun rekomendasi kebijakan damai yang realistis. Jalur ini terbukti berhasil dalam banyak konflik dan lebih lentur dari pendekatan formal yang kaku.

Memanfaatkan Diplomasi Ekonomi dan Budaya
Pasca-gencatan, kawasan Timur Tengah akan membutuhkan mitra ekonomi yang netral dan stabil. Indonesia dapat mengisi ruang ini melalui ekspor produk halal, pendidikan Islam moderat, serta teknologi ramah lingkungan. Diplomasi ekonomi yang cerdas akan memperkuat posisi politik sekaligus memberi manfaat langsung bagi rakyat.

Tantangan dan Kewaspadaan
Namun, tidak ada jalan damai yang tanpa duri. Gencatan ini bisa runtuh sewaktu-waktu, terlebih jika tidak dibarengi komitmen internasional dan kontrol atas kelompok proksi. Di sisi lain, posisi Indonesia juga rentan disalahpahami jika tidak bersikap tegas terhadap keadilan bagi Palestina, yang hingga kini tetap menjadi isu kunci dalam dinamika Timur Tengah.

Oleh karena itu, penting bagi Indonesia menjaga keseimbangan: berperan aktif, namun tetap menjunjung konstitusi dan prinsip kedaulatan. Netralitas bukan berarti pasif, dan keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh dikompromikan.

Penutup: Saatnya Indonesia Bicara
Ketika dunia perlahan bergerak dari konflik ke dialog, Indonesia harus hadir bukan hanya sebagai penonton, melainkan sebagai aktor aktif. Kita memiliki sejarah, kapasitas dan legitimasi moral untuk menjadi kekuatan tengah penjaga keseimbangan, juru bicara keadilan, dan penyambung lidah perdamaian dunia.

Dari Teluk Persia ke Jakarta, terbentang peluang baru untuk menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia bukan hanya simbolik, tapi substantif dan solutif. Dunia menanti suara kita. Maka, saatnya Indonesia bicara lantang dan penuh makna.

Gowa, 25 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *