Opini

Nepotisme di Balik Koperasi Merah Putih: Mimpi Rakyat, Ladang Keluarga?

×

Nepotisme di Balik Koperasi Merah Putih: Mimpi Rakyat, Ladang Keluarga?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Herman Tanriesa’ Tandijannang
(Sekertaris Umum GSBN Polewali Mandar)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Koperasi Merah Putih dirancang sebagai tonggak kebangkitan ekonomi kerakyatan. Program ini menyasar desa-desa sebagai pusat pertumbuhan, dengan semangat gotong royong dan partisipasi warga sebagai fondasinya. Sayangnya, di sejumlah daerah, semangat luhur tersebut berbalik menjadi ajang perebutan posisi oleh segelintir elite lokal. Yang terjadi bukan penguatan koperasi, melainkan pengukuhan kekuasaan berbasis kekerabatan.

Berdasarkan berbagai laporan warga dan pantauan lapangan, pola yang berulang mulai muncul: pengurus Koperasi Merah Putih diisi oleh orang-orang terdekat kaum elit desa atau perangkat desa seperti anak, adik, ipar, hingga sepupu. Penempatan ini bukan karena kecakapan atau pengalaman, tetapi karena kedekatan personal. Praktik semacam ini menggambarkan wajah baru dari nepotisme gaya lama.

Kondisi ini mengkhawatirkan. Bukan saja mengkhianati semangat koperasi yang seharusnya “dari, oleh, dan untuk rakyat”, tapi juga berpotensi melumpuhkan program sejak awal. Ketika warga melihat bahwa koperasi dikuasai oleh “kelompok keluarga”, partisipasi akan melemah. Koperasi tak lagi dipandang sebagai milik bersama, melainkan milik segelintir orang. Akibatnya, kepercayaan publik menurun, pengawasan melemah, dan jalannya koperasi rentan disalahgunakan.

Padahal, banyak pemuda desa dan warga lain yang punya kapasitas dan niat tulus untuk membangun koperasi secara profesional. Namun, kesempatan mereka tertutup oleh sistem rekrutmen yang tidak terbuka. Tanpa seleksi yang fair dan transparan, koperasi hanya akan menjadi alat distribusi kekuasaan, bukan alat distribusi kesejahteraan.

Di sinilah pemerintah pusat harus hadir. Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Dalam Negeri perlu meninjau ulang mekanisme pembentukan kepengurusan koperasi di tingkat desa. Perlu dibuat aturan tegas yang mencegah konflik kepentingan dan mendorong proses seleksi terbuka dengan partisipasi masyarakat.

Selain itu, perlu dibentuk mekanisme pengaduan dan evaluasi independen terhadap koperasi-koperasi yang terindikasi disalahgunakan. Pemerintah juga harus mendorong pelibatan tokoh masyarakat, akademisi lokal, dan komunitas desa dalam setiap proses pembentukan koperasi agar pengawasan berjalan seimbang.

Koperasi Merah Putih adalah harapan. Tapi harapan itu hanya bisa terwujud jika ia dikelola dengan prinsip keadilan, profesionalisme, dan keterbukaan. Tanpa itu, koperasi hanya akan menjadi wajah baru dari oligarki desa.

Sudah saatnya kita menempatkan rakyat sebagai subjek utama pembangunan desa, bukan sebagai penonton dari drama lama yang terus berulang: nepotisme yang dibungkus dengan jargon kerakyatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *