Opini

Saat Alam Menanti Kebijakan: Gowa di Persimpangan Jalan Hijau

×

Saat Alam Menanti Kebijakan: Gowa di Persimpangan Jalan Hijau

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muh. Rizal (Kepala Biro Gowa Potretnusantara)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Di tengah arus global yang semakin sadar akan pentingnya pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, beberapa daerah di Indonesia mulai berbenah, membangun masa depan dengan visi yang berakar pada keberlanjutan ekologi dan ekonomi. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (SulSel), yang kini merintis pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Inisiatif ini bukan sekadar implementasi teknologi, melainkan wujud nyata dari perubahan paradigma pembangunan: dari eksploitatif menuju regeneratif.

Namun sayangnya, di sisi lain, Kabupaten Gowa yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang luar biasa, justru terlihat masih berada dalam tarik-menarik antara paradigma lama dan baru. Ibarat pepatah “maju-mundur syantik”, Gowa terlihat gagap dalam menentukan arah kebijakan yang berkelanjutan. Padahal, potensi wilayah ini bukan hanya kaya secara ekologi, tetapi juga strategis untuk pengembangan ekonomi hijau yang inklusif.

Potensi Melimpah, Kebijakan Minim Visi
Gowa memiliki beragam sumber daya yang bisa menopang kemandirian daerah dan bahkan menjadi percontohan nasional. Di sektor kehutanan dan perkebunan, kawasan seperti Tinggimoncong, Parigi, dan Tombolo Pao dikenal memiliki komoditas unggulan seperti karet, kopi, kakao, dan cengkeh. Penelitian oleh Syahza (2021) menunjukkan bahwa komoditas seperti kakao dan kopi, ketika dikelola secara agroforestri, tidak hanya memberikan hasil ekonomi, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan cadangan karbon hutan.

Selain itu, potensi pertanian dan hortikultura di Gowa sangat besar. Dataran tinggi dan rendahnya menawarkan kesuburan yang mendukung produktivitas padi, jagung, cabai, hingga kentang. Ditambah lagi, konsep pertanian organik dan agrowisata yang mulai diminati pasar global bisa menjadi model transformasi ekonomi lokal yang berkelanjutan, sebagaimana dipaparkan dalam jurnal Sustainability oleh Altieri & Nicholls (2017) bahwa pertanian berkelanjutan mampu menjawab tantangan krisis pangan dan degradasi lingkungan secara bersamaan.

Di sektor energi, Gowa memiliki peluang luar biasa dalam pengembangan energi terbarukan. Sungai Jeneberang dan Jenelata sangat potensial untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sementara dataran tinggi di Gowa bagian timur cocok untuk PLTS. Sebuah studi oleh Kementerian ESDM (2020) mencatat bahwa potensi energi surya di Sulawesi Selatan mencapai 4.8 kWh/m²/hari, cukup untuk mendukung desa mandiri energi. Namun, realisasinya di Gowa nyaris stagnan, sementara daerah lain sudah mulai berinvestasi dalam transisi energi.

Gowa juga dianugerahi kekayaan tambang non-logam (galian C), seperti pasir dan batu, yang banyak ditemukan di kawasan aliran Sungai Jeneberang. Sayangnya, aktivitas tambang ini seringkali tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Padahal, berdasarkan kajian dari Journal of Environmental Management (Widodo, 2020), aktivitas tambang yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan permanen pada ekosistem sungai, longsor, hingga banjir bandang.

Ketimpangan Antara Potensi dan Kenyataan
Berbagai potensi ini seharusnya menjadi fondasi bagi kemandirian ekonomi lokal, penguatan pendapatan asli daerah (PAD), dan terwujudnya kedaulatan pangan serta energi. Namun realitanya, kita justru menyaksikan fenomena eksploitasi sumber daya yang tak terkendali. Kawasan hutan dibuka tanpa kontrol yang jelas, suara satwa tergantikan oleh gemuruh alat berat, dan lahan subur perlahan menjadi kawasan kritis atau bahkan hanya menyisakan lubang bekas tambang.

Pertanyaannya: ke mana arah kebijakan kita selama ini? Apakah pembangunan hanya diukur dari seberapa cepat kita menggali dan menjual, bukan dari seberapa cerdas kita menjaga dan menanam masa depan?

Kajian dari World Resources Institute (2022) menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai jika kebijakan pemerintah lokal mengintegrasikan prinsip keadilan ekologi, efisiensi ekonomi, dan partisipasi masyarakat. Tanpa perencanaan tata ruang yang berbasis lingkungan, potensi akan berubah menjadi beban ekologis.

Perlu Revolusi Kebijakan dan Kesadaran Kolektif
Sudah waktunya Gowa tidak hanya melihat pembangunan sebagai deretan proyek fisik, tetapi sebagai proses jangka panjang yang harus menjawab tantangan masa depan. Reformasi tata kelola SDA harus dimulai dari pembenahan regulasi, penguatan kapasitas kelembagaan daerah, dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Daerah-daerah seperti Banyuwangi dan Kulon Progo bisa menjadi contoh, bagaimana kearifan lokal dan inovasi sosial mampu menciptakan ekonomi berbasis komunitas yang berkelanjutan.

Selain itu, edukasi publik menjadi faktor penting. Kesadaran masyarakat bahwa kekayaan alam bukan hanya untuk generasi hari ini, tetapi juga untuk anak cucu, harus terus dibangun. Seperti disampaikan dalam Journal of Environmental Education (Tilbury, 2006), pendidikan lingkungan berbasis komunitas dapat memperkuat kohesi sosial dan mempercepat transisi menuju pembangunan hijau.

Gowa, Arah Baru atau Ulang Sejarah Lama?
Gowa masih memiliki kesempatan untuk bangkit dan menjadi pionir pembangunan berkelanjutan di Sulawesi Selatan, bahkan Indonesia. Tetapi untuk itu, diperlukan kemauan politik, keberanian mengambil kebijakan progresif, dan kolaborasi lintas sektor. Jika tidak, maka yang tersisa dari Gowa nanti hanyalah cerita tentang kekayaan alam yang pernah ada dan penyesalan karena kita tidak cukup bijak menjaganya.

Sudah saatnya Gowa tidak hanya “maju-mundur syaantik”, tetapi melangkah pasti dengan visi dan arah yang jelas. Sebab pembangunan sejati bukan tentang seberapa cepat kita menggali, melainkan seberapa bijak kita menanam dan merawat masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *