Opini

Potret Hukum Ketatanegaraan Indonesia: Antara Polarisasi Legislasi dan Ketimpangan Lembaga Negara

×

Potret Hukum Ketatanegaraan Indonesia: Antara Polarisasi Legislasi dan Ketimpangan Lembaga Negara

Sebarkan artikel ini

Oleh: Andi Massakili
Peserta Advance Training LK III Badko HMI Sulsel 2025

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Demokrasi Indonesia hari ini tidak sedang baik-baik saja. Dalam hiruk-pikuk transisi politik, reformasi hukum, dan tekanan global, kita justru menyaksikan gejala mengkhawatirkan: hukum yang kian politis, lembaga negara yang kehilangan daya kontrol, serta proses legislasi yang makin elitis dan jauh dari partisipasi rakyat. Gejala ini bukan lagi kasuistik, melainkan sudah menjadi pola sistemik yang berpotensi melumpuhkan prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan.

Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang tengah menjalani tahapan tertinggi dalam proses perkaderan Latihan Kader III (LK III), saya memandang penting untuk tidak sekadar memahami fenomena ini secara teoritik, tetapi juga mendorong kesadaran kolektif untuk bersikap. Kita sedang menghadapi kondisi darurat yang menuntut lebih dari sekadar analisis: kita membutuhkan keberanian untuk bersuara, bersikap, dan bertindak.

Polarisasi Legislasi: Ketika Kepentingan Elit Mendistorsi Hukum

Proses pembentukan undang-undang di Indonesia, yang semestinya menjadi refleksi dari kebutuhan rakyat, belakangan ini justru berubah menjadi arena tarik-menarik kekuasaan politik. UU KPK hasil revisi, UU Cipta Kerja yang dipaksakan, dan sederet produk legislasi lainnya menunjukkan kecenderungan bahwa hukum dijalankan bukan untuk keadilan, melainkan untuk mengamankan kepentingan segelintir pihak.

Polarisasi ini semakin memperparah fragmentasi sosial dan memperdalam jurang antara rakyat dan negara. Ketika hukum tidak lagi lahir dari kebutuhan rakyat, maka yang tumbuh adalah ketidakpercayaan, apatisme, bahkan potensi disintegrasi. Legislasi yang diproduksi secara elitis dan tertutup tidak hanya cacat prosedural, tetapi juga secara substantif gagal menjawab problem struktural bangsa seperti ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, dan korupsi.

Lebih dari itu, polarisasi legislasi telah menciptakan iklim politik yang tidak sehat. Rakyat yang mengkritik kerap dilabeli subversif atau anti-pemerintah. Di sisi lain, kelompok elite menggunakan instrumen hukum untuk mempersempit ruang gerak oposisi. Maka hukum tidak lagi menjadi alat pemersatu, tetapi berubah menjadi alat eksklusi dan dominasi.

Ketimpangan Kekuasaan Antar Lembaga Negara: Retaknya Sistem Checks and Balances

Demokrasi membutuhkan lembaga-lembaga negara yang kuat, independen, dan saling mengawasi. Konsep checks and balances bukan sekadar prinsip normatif, tetapi mekanisme konkret untuk mencegah kekuasaan yang korup dan absolut. Namun, realitas menunjukkan bahwa keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara di Indonesia telah mengalami distorsi serius.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat justru sering kali bertindak sebagai perpanjangan tangan eksekutif. Rapat-rapat tertutup, pengambilan keputusan yang terburu-buru, serta minimnya pelibatan publik menjadi praktik lazim yang mengikis legitimasi parlemen. Padahal, dalam sistem demokrasi, parlemen adalah jantung representasi rakyat.

Lembaga yudikatif pun tak lepas dari krisis. Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai pengawal konstitusi, beberapa kali mengeluarkan putusan kontroversial yang justru dianggap menguntungkan kekuasaan. Sorotan terhadap integritas hakim konstitusi, konflik kepentingan, serta politisasi lembaga yudikatif menunjukkan bahwa independensi hukum di Indonesia berada dalam kondisi rawan.

Ketimpangan kekuasaan ini adalah ancaman serius terhadap demokrasi. Ketika lembaga pengontrol tidak lagi menjalankan fungsinya secara maksimal, maka yang terjadi adalah konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite. Ini membuka ruang bagi oligarki dan otoritarianisme gaya baru yang justru dilegitimasi secara formal oleh sistem demokrasi itu sendiri.

Peran Kader HMI: Menjawab Tantangan Zaman

Sebagai kader HMI, kita tidak boleh berdiam diri. Tantangan ini adalah ujian historis yang harus dijawab dengan keberpihakan pada nilai. LK III sebagai jenjang kaderisasi tertinggi bukan hanya ruang pembelajaran, tetapi medan konsolidasi ide dan aksi untuk menegakkan nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.

HMI memiliki warisan intelektual dan historis dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Dari era Orde Lama hingga Reformasi, kader-kader HMI telah menjadi bagian penting dalam membentuk arah perubahan bangsa. Warisan ini harus diteruskan dengan cara yang relevan: membangun kesadaran kritis, menjadi oposisi moral terhadap kekuasaan yang menyimpang, dan memperkuat basis gerakan di tengah rakyat.

Peran kader HMI bukan sekadar menjadi komentator keadaan, tetapi agen perubahan yang mendorong transparansi dalam proses legislasi, independensi lembaga yudikatif, serta pemulihan marwah institusi negara. Kader HMI harus hadir di tengah masyarakat, menyuarakan aspirasi mereka, dan melawan setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Menuju Reformasi: Ketatanegaraan yang Substansial

Kondisi hukum dan ketatanegaraan kita saat ini mengharuskan adanya reformasi yang lebih dalam dan substansial. Kita tidak cukup hanya bicara soal revisi undang-undang, tetapi perlu membangun sistem politik yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Ini mencakup:

Pembenahan proses legislasi agar terbuka, inklusif, dan berbasis aspirasi rakyat.

Penguatan independensi lembaga yudikatif dengan reformasi internal yang berani dan integritas tinggi.

Peningkatan kualitas parlemen melalui kaderisasi politik dan edukasi publik agar rakyat tidak lagi memilih atas dasar pragmatisme sesaat.

Pendidikan politik rakyat agar mereka tidak terjebak dalam polarisasi semu yang dibangun elite, tetapi memiliki kesadaran kritis atas hak-hak konstitusional mereka.

Reformasi ketatanegaraan bukan hanya proyek elit, melainkan gerakan rakyat. HMI harus berada di barisan terdepan dalam menyusun agenda ini.

Menjaga Harapan: Merawat Demokrasi

Indonesia belum kehilangan harapan. Di tengah berbagai krisis dan tantangan, masih ada ruang untuk memperbaiki keadaan. Namun, perbaikan itu tidak akan terjadi tanpa keberanian untuk melawan arus, melawan polarisasi, dan melawan ketimpangan. Hukum yang adil dan lembaga negara yang kuat hanya bisa lahir dari perjuangan kolektif dan kesadaran kritis yang terorganisir.

Sebagai kader HMI, kita tidak boleh berhenti hanya pada diskusi di forum-forum pelatihan. Kita harus membawa semangat ini ke ruang publik, menjadi intelektual organik yang berpihak pada rakyat, dan terus mengawal demokrasi Indonesia agar tetap berada di jalurnya.

Mari kita jaga demokrasi ini dengan nalar, nurani, dan keberanian. Sebab di tangan kitalah masa depan Indonesia ditentukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *