OpiniPendidikan

Sejarah Bukan Milik Penguasa: Sikap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DEMA UIN Alauddin Makassar

×

Sejarah Bukan Milik Penguasa: Sikap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DEMA UIN Alauddin Makassar

Sebarkan artikel ini

Penulis: Yahya Santoso
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DEMA UIN Alauddin Makassar

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Proses penulisan ulang sejarah nasional yang kini tengah dilaksanakan di bawah koordinasi Kementerian Kebudayaan, dengan Menteri Fadli Zon sebagai pengarah, telah memasuki tahap implementasi dan sedang diuji publik di sejumlah perguruan tinggi. Proyek besar yang melibatkan ratusan akademisi, termasuk sejarawan dan arkeolog ini, ditargetkan untuk selesai menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.

Dengan skala dan dampak yang sangat besar, proses ini tentu penting untuk dikritisi secara konstruktif demi menghasilkan narasi sejarah yang lebih akurat, adil, dan representatif.

Sejarah Milik Rakyat, Bukan Penguasa

Sejarah adalah milik seluruh rakyat, bukan semata-mata milik penguasa. Sejarah merupakan produk dari perjalanan panjang yang melibatkan berbagai kelompok, pengalaman, dan kisah yang seringkali terlupakan. Oleh karena itu, dalam penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh negara, sangat penting untuk memastikan bahwa narasi yang dihasilkan bersifat inklusif dan adil.

Kami mengamati bahwa meskipun keterlibatan akademisi cukup luas, partisipasi dari kelompok masyarakat sipil, komunitas adat, dan generasi muda dalam proses ini masih tergolong terbatas. Selain itu, waktu pengerjaan yang relatif singkat serta target peluncuran yang bertepatan dengan momentum politik memunculkan kekhawatiran bahwa prioritas bisa lebih mengarah pada pencitraan, daripada kedalaman kajian historis.

Dukungan terhadap Penulisan Ulang Sejarah yang Objektif

Kami tidak menolak penulisan ulang sejarah. Sebaliknya, kami mendukung penuh upaya untuk memperbaiki narasi sejarah yang selama ini bias, terlalu Jakarta-sentris, dan kurang memberi ruang bagi kelompok-kelompok marjinal. Namun, perbaikan tersebut harus dilakukan dengan standar ilmiah yang ketat, melalui proses yang terbuka, dan dengan semangat keadilan naratif.

Untuk itu, kami mengusulkan agar proses penulisan ulang sejarah ini dijalankan dengan prinsip transparansi penuh. Hal ini termasuk publikasi nama-nama penyusun serta metode kerja yang digunakan dalam proyek ini. Selain itu, perlu ada ruang konsultasi yang lebih luas, melibatkan komunitas adat, organisasi perempuan, kalangan mahasiswa, dan generasi muda, agar suara mereka juga didengar dan tidak terpinggirkan.

Kami juga mendukung pembentukan forum akademik independen sebagai wadah evaluasi dan kritik terhadap hasil penulisan ulang sejarah. Forum ini akan membantu menjaga kualitas dan integritas hasil sejarah yang akan dipublikasikan. Jika waktu menjadi kendala, kami mendorong agar jadwal peluncuran tidak dipaksakan demi menjaga kualitas ilmiah yang lebih penting.

Penolakan terhadap Distorsi Sejarah untuk Kepentingan Politik

Sebagai komunitas akademik dan generasi muda, kami menolak segala bentuk distorsi sejarah yang berpotensi lahir dari kepentingan politik jangka pendek. Sejarah harus menjadi ruang yang demokratis, di mana seluruh suara diberi tempat yang adil, bukan menjadi alat untuk legitimasi kekuasaan.

Kami percaya, penulisan sejarah yang jujur, adil dan komprehensif tidak hanya memperbaiki pemahaman kita tentang masa lalu, tetapi juga dapat menentukan arah masa depan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *