Oleh: Egar Muhammad
(Ketua Ek LMND Palopo)
Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Orang Papua dan Aceh tidak saling kenal, tapi bisa sama-sama merasa Indonesia. Anggota bangsa tidak saling mengenal secara langsung, tapi mereka membayangkan dirinya satu komunitas, diikat oleh sejarah, bahasa, simbol, dan narasi bersama.
Definisi paling Fair ketika bicara soal Bangsa, ya,, Apa Imajinasimu? Sebagaimana di tegaskan Benedict Anderson dalam bukunya “Imagined Political Communities”, Lahir dari sejarah yang sama, penindasan yang sama dan kehendak untuk menentukan nasib sendiri.
Karena itu, tuntutan pembentukan Daerah Otonomi Baru Luwu Raya bukanlah ambisi Elit atau Romantisme kedaerahan, melainkan ekspresi sadar dari semua pihak yang selama ini terpinggirkan bias dari sentralisasi kekuasaan. Kini, Luwu Raya membayangkan dirinya sebagai Komunitas Politik dan Imajinasi, itu adalah dasar sah bagi perjuangan Otonomi dan Keadilan.
Dorongan pembentukan Provinsi Luwu Raya tidak lahir secara alamiah. Ia berangkat dari akar historis dalam perjalanan bangsa, dimana Tanah Luwu sejak awal kemerdekaan telah ditempatkan dalam Imajinasi Politik Nasional sebagai wilayah yang memiliki kekhususan.
Pada masa Reformasi, komitmen serupa kembali dinyatakan secara terbuka oleh Presiden Republik Indonesia dalam kunjungan resmi ke Tanah Luwu. Sejak saat itu, issu Luwu Raya tidak lagi sekadar Aspirasi Lokal, namun telah memasuki ranah pernyataan Politik Negara dengan implikasi Konstitusional.
Dalam konteks kekinian, dorongan pembentukan Provinsi Luwu Raya kian mendesak bukan semata karena faktor historis, melainkan sebagai respon atas ketimpangan Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan yang berlangsung lama di bawah Tata Kelola Provinsi Sulawesi Selatan.
Selama ini, Luwu Raya diposisikan sebagai wilayah penghasil sumber daya, sementara pembangunan, investasi publik, dan layanan strategis justru terkonsentrasi di wilayah inti Provinsi. Pola ini menempatkan Luwu Raya sebagai daerah produksi tanpa memperoleh manfaat pembangunan yang setara dan berkeadilan.
Ketimpangan tersebut terlihat jelas di sektor Pendidikan. Akses terhadap Perguruan Tinggi Unggulan, Fasilitas Riset, serta Program Afirmasi Negara masih terpusat di Makassar. Akibatnya, generasi muda Luwu Raya harus bermigrasi demi memperoleh Pendidikan layak, sementara daerah asal terus tertinggal dari sisi kualitas sumber daya manusia.
Kondisi serupa juga terjadi pada sektor Kesehatan. Keterbatasan Rumah Sakit rujukan, minimnya tenaga medis spesialis, serta belum meratanya infrastruktur layanan kesehatan memaksa masyarakat Luwu Raya menempuh jarak jauh dan biaya tinggi untuk mendapatkan layanan kesehatan yang sejatinya adalah hak dasar warga negara.
Ironisnya, pembagian kuota program Layanan Kesehatan Gratis justru menempatkan Palopo dan Luwu Utara sebagai penerima kuota kecil, sebuah fakta yang secara telanjang menunjukkan ketimpangan kebijakan Kesehatan di tingkat Provinsi.
Ketimpangan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi berujung pada tragedi kemanusiaan. Kasus meninggalnya seorang ibu hamil beserta bayinya, setelah ditandu selama 16 jam menuju rumah sakit di Luwu Utara adalah bukti paling brutal dari kegagalan Gubernur Sulsel menghadirkan layanan Kesehatan yang Adil dan merata.
Ketimpangan Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan ini bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi dari struktur kebijakan yang memusatkan Kekuasaan, Anggaran, dan Layanan Publik di wilayah tertentu. Sementara itu, Daerah penghasil sumber daya di reduksi menjadi objek Kebijakan, bukan subjek Pembangunan.
Pemekaran bukan sekadar Pembentukan wilayah Administratif baru, melainkan upaya menghadirkan Keadilan Distribusi Pembangunan, serta memastikan layanan Pendidikan dan Kesehatan dapat di akses secara setara oleh seluruh warga.
Akhir kata, “Provinsi Luwu Raya bukan sekadar soal Pemekaran Administratif, melainkan soal Keadilan. Selama Daerah Penghasil terus dipinggirkan, maka Ketimpangan akan terus di Reproduksi”.
Editor: S PNs














