AgamaReligi

Misi Ganda Manusia: Pengabdian Kepada Allah & Pemulihan Bumi Di Tengah Krisis Ekologis

×

Misi Ganda Manusia: Pengabdian Kepada Allah & Pemulihan Bumi Di Tengah Krisis Ekologis

Sebarkan artikel ini

Khutbah Jumat, 26 Desember 2025

Oleh: Dr. M. Ilham, Lc., M.Fil.

Adv

(Kordinator Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M UIN Palopo)

Palopo, Potretnusantara.co.id – Segala Puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita kembali dengan sayyidul ayyām, hari Jumat yang penuh berkah ini untuk memperbaharui komitmen kita sebagai hamba Allah swt. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw. Nabiyyurrahmah, rahmat bagi seluruh alam.

Hadirin Rahimakumullāh.

Melalui mimbar Jumat ini, khatib juga mengajak para jamaah untuk meningkatkan iman & takwa kepada Allah swt.

Hadirin Rahimakumullāh.

Beberapa waktu terakhir ini, kita kembali disuguhkan informasi perihal berita duka, dimana saudara-saudara kita di berbagai daerah terdampak bencana banjir. Fenomena ini tentu bukan hanya sekadar peristiwa biasa, melainkan isyarat yang mengajak kita merenung lebih dalam: Apakah ini bentuk teguran dari Allah? Apakah mungkin ini yang Allah tegaskan sejak awal dalam Al-Qur’ān surah al-Rūm: 41?

ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت ايدي الناس

Ayat ini seakan menggetarkan hati kita… bahwa manusia, yang semestinya menjadi penjaga bumi, seringkali justru menjadi penyebab kerusakannya.

Dua Identitas Besar Manusia: “Abdullāh” dan “Khalīfatullāh”

Pada titik inilah, kita perlu memahami bahwasanya dalam menjalani kehidupan dunia ini, kita sejatinya membawa sebuah misi penting yang Allah swt amanahkan di atas pundak kita yaitu sebagai “Abdullāh” (hamba/pengadi Allah), sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’ān surah Al-Dzāriyāt: 56 & Al-Bayyināh: 5.‎

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mengabdi dan beribadah kepada-Ku.”

وما أمروا إلا ليعبدوا الله

Selain sebagai “Abdullāh” (hamba Allah-mengabdi kepada Allah), ada satu misi dan amanah yang tidak kalah pentingnya namun seringkali kita abaikan yaitu (imārah al-ardh), bahwa manusia juga memiliki tanggung jawab merawat, mengelola, dan menjaga keseimbangan ekosistem, serta melestarikan bumi.

Bahkan, imāratul Ardh (tanggung jawab merawat dan melestarikan bumi) itu sendiri merupakan perintah yang paling awal ditujukan kepada manusia sebelum ibadah – ibadah lainnya.

“Ibrah Penciptaan Adam: Pengetahuan sebagai Instrumen Pemelihara Bumi”

Ketika Nabiullāh Adam as dilantik sebagai “Khalifah”, tujuan yang paling mendasar dan utama adalah —dalam kaitannya dengan kapasitas imāratul ardh— untuk memakmurkan bumi.

Hal itu sesuai dengan skenario Allah tentang penciptaan Adam, dimana Malaikat mengklarifikasi kepada Allah tentang Penciptaan Adam sebab menurutnya merekalah makluk yang paling kuat dalam urusan ibadah.Namun malaikat tidak paham bahwa Adam punya tugas khusus di bumi; bukan sekadar ibadah, tapi paling utama adalah sebagai Pelestari – merawat Bumi.

Hadirin Rahimakumullāh.

Itulah esensi khalifah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’ān surat Al-Baqarāh/2: 30:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Terjemahannya:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Hadirin Rahimakumullāh.

Jadi, isu yang paling awal dialamatkan kepada manusia bahwasanya manusia tidak punya kapasitas sebagai pemimpin di dunia karena memiliki tabiat senang membuat kerusakan.

Mereka menilai bahwa diri merekalah yang patut untuk menjadi khalifah karena mereka adalah hamba Allah yang sangat patuh, selalu bertasbih, memuji Allah, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.

Namun semua itu ditepis oleh Allah swt karena Allah lah yang paling mengetahui atas segalanya termasuk keputusan menjadikan manusia sebagai pemimpin di bumi ini.

Allah swt membekali Nabi Adam alayhissalām dengan instrumen pengetahuan. Dengan pengetahuan itu, Adam sebagai representasi dari manusia mampu mengidentifikasi berbagai objek di sekitarnya.

Hal ini berarti bahwa manusia dengan segala kekurangan dan tuduhan sebagai makhluk perusak yang dialamatkan kepadanya, ia adalah makhluk pembelajar, bisa diajar, dan belajar dari kesalahan-kesalahannya.

Ada hal menarik ketika Allah swt memberikan akses kebebasan yang begitu besar kepada Nabi Adam alayhissalām tatkala di Surga, Allah swt mewanti-wanti dengan mengatakan:

ولا تقربا هذه الشجرة فتكونا من الظالمين

Tentu, bukan tanpa ibrah Allah swt menempatkan “syajarah” sebagai wilayah terlarang bagi Nabi Adam As. “Syajarah” yang bermakna pohon adalah simbol betapa alam yang diwakili oleh pohon merupakan sesuatu yang perlu dirawat, bukan menjadi objek eksploitasi, sasaran keangkuhan manusia. Itulah sebabnya, Allah swt di lain kesempatan menyebut bahwa manusia merupakan penyebab dari kerusakan yang terjadi di darat dan di laut.

ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت ايدي الناس

Allah mengaitkan keimanan seseorang dengan kesadaran lingkungan. “Wa lā tufsidū fil ardh ba’da islāhiha zālikum khairun lakum in kuntum mu’minīn”.

Rasulullah saw dalam banyak rekam jejakanya sangat ekologis. Kata rasulullah dalam hadisnya:

“in qāmat al-sā’atu wa fī yadi ahadikum fasīlah fa inistathā’a an lā taqūma hattā yagrisaha falyaf’al”.

Artinya:

“Jika hari Kiamat tiba dan di tangan salah satu dari kalian ada satu bibit kurma, maka selama ia sanggup untuk menanamnya sebelumnya, hendaklah ia melakukannya”.

Demikian halnya, larangan kencing di bawah pohon dan merusak pepohonan di medan perang adalah sejumlah fakta sejarah Nabi yang sangat “Ekologis”, peduli dengan lingkungan. Pesan tersebut penuh isyarat akan pentingnya menjaga lingkungan dan menyambung rasa dengan semesta.

Oleh karena itu, untuk sampai kepada derajat tertinggi seorang hamba, yaitu “khalifatullāh“, maka kita perlu menjaga keseimbangan antara “Keshalehan individu dengan menjalankan ibadah “mahdah”; menegakkan ibadah shalat, zakat dan seterusnya, serta “Keshalehan Sosial dengan menebar kebaikan di tengah masyarakat, dan juga “Keshalehan Ekologis yaitu merawat dan melestarikan Alam Semesta.

بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Editor: S PNs

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *