DaerahOpini

MUSDA KAHMI 2025 SELAYAR: Titik Temu di Ujung Selatan

×

MUSDA KAHMI 2025 SELAYAR: Titik Temu di Ujung Selatan

Sebarkan artikel ini

Penulis: Cepi Edelweis

Selayar, Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Suatu pertemuan tetiba saja di pantai Kota Benteng antara riuh cakap dan hangat sarabba’, pisang dan ubi goreng. Sehabis jabat tangan dan sapa akrab kanda dinda, tradisi harmonis di tengah lingkungan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bersilang cerita masa-masa berhimpun yang merupakan napak tilas seorang aktivis dibalut dalam nuansa nostalgia. Suatu bentuk kerinduan akan ‘jalan pulang’ yang tersublimasi dari kata ‘Cinta’ terhadap himpunan sebagai penyembuh atas berbagai duka. Duka ketimpangan sosial ekonomi, politik dan budaya.

Di tengah diskusi antara senior malam itu, saya satu-satunya Kohati yang turut hadir di antara senior KAHMI  yang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan kegiatan Musda KAHMI Selayar. Sayang nya malam itu saya harus berangkat menuju kota Daeng. Dan tentunya akan melewatkan momentum yang penting di bumi cinta Tanadoang. Namun tentunya saya mencoba memberikan narasi pengharapan dalam catatan kecil ini.

Pada tanggal 25 November 2025 kemarin kita peringati Hari Guru Nasional, namun yang tidak boleh luput dari perhatian kita adalah seorang tokoh intelektual, tokoh bangsa Nurcholis Madjid yang diberi padanan sebagai “Guru Bangsa” manusia etis sekaligus kaya akan gagasan. Berlanjut dengan momentum Musda MD KAHMI Kabupaten Kepulauan Selayar di tanggal 27 November 2025 di Kota Benteng, tentunya ini merupakan upaya mereduksi kembali makna “Guru” yang secara etimologis ialah menyingkap tabir gelap.

Berdasarkan hemat penulis, Cak Nur yang sangat akrab dengan HMI yang secara pemikiran relevan dengan konteks hari ini. Kalimatun Sawa (Kalimah Sawa) adalah sebuah konsep penting dalam pemikiran Nurcholis Madjid yang secara harfiah ‘Kata yang sama’ atau ‘Titik Temu’. Cak Nur, kita tahu, sudah cukup lama mengembangkan konsepsi “kalimatun sawa”, menjadi titik temu yang menyatukan pelbagai keragaman dan perbedaan.

Pemikiran Nurcholis Madjid sampai kini pun masih menjadi rujukan dan relevan terhadap kondisi zaman. Istilah “kalimatun sawa” itu sendiri sebenarnya sudah tak asing bagi umat Islam, merupakan istilah baku yang secara tegas disebutkan Al-Quran. Yakni, dalam surat Ali Imran ayat 64.

Syekh Nawawi al-Bantani,  menafsir ayat ini , menjelaskan bahwa konteks ayat tersebut tertuju kepada kaum Nasrani Najran yang tidak mau menerima ajakan Rasulullah Saw untuk memeluk Islam. Mereka terus berdalih dengan menyampaikan segala dalil, juga tak mau membayar jizyah atau pajak.

Tak hanya kepada Nasrani Najran, ayat tersebut juga ditujukan kepada kaum Yahudi Madinah.
Perselisihan itu pun pada akhirnya melibatkan Rasulullah sebagai pemimpin untuk mencari jalan keluarnya. Maka turunlah perintah Allah agar meninggalkan perdebatan dan mencari titik temu sebagai jalan tengah. Titik temu inilah yang kemudian disebut “Kalimatun Sawa”.
Penulis menyadari betul kompleksitas problem  terutama dalam konfigurasi umat di Indonesia.

Nurcholis Madjid memberikan narasi pengharapan bahwa sebagai bangsa yang multikultural, juga sekaligus mayoritas muslim terbanyak penting melihat jauh ke dalam spirit “titik temu” tersebut, sebagai jalan poros dalam menyelesaikan problematika yang dihadapi umat dan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *