Opini

Siti Hajar sebagai Gambaran Ibu yang Bijak(Refleksi Teologis, Etis, dan Peradaban)

×

Siti Hajar sebagai Gambaran Ibu yang Bijak(Refleksi Teologis, Etis, dan Peradaban)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Baharuddin Hafid (Akademisi Universitas Megarezky)

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Dalam sejarah keagamaan, tidak semua tokoh besar hadir dengan status kenabian atau kekuasaan formal. Sebagian justru tampil melalui pengalaman sunyi, penderitaan personal, dan keteguhan batin. Siti Hajar adalah salah satunya. Dalam narasi Islam, ia bukan sekadar figur pendamping Nabi Ibrahim AS, melainkan subjek utama lahirnya sebuah peradaban. Keteladanan Siti Hajar memperlihatkan bahwa kebijaksanaan seorang ibu dapat melampaui batas domestik dan menjelma menjadi fondasi spiritual umat manusia.

Adv

Al-Qur’an memang tidak menyebut nama Siti Hajar secara eksplisit, namun kisahnya dihadirkan secara substansial melalui rangkaian peristiwa dalam Surah Ibrahim ayat 37, ketika Nabi Ibrahim meninggalkan sebagian keluarganya di lembah tandus tanpa tanaman. Tafsir klasik seperti Jāmi‘ al-Bayān karya al-Ṭabari menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada Hajar dan Ismail, yang ditinggalkan di Makkah atas perintah Allah. Dalam kerangka ini, Siti Hajar ditempatkan pada posisi eksistensial yang amat menentukan, meski tanpa legitimasi formal sebagai nabi atau rasul.

Kebijaksanaan Siti Hajar tampak pertama-tama pada sikap epistemologisnya terhadap perintah Tuhan. Pertanyaannya yang terkenal kepada Ibrahim “Apakah ini perintah Allah?” menunjukkan nalar kritis yang bekerja dalam iman. Ibn Katsir, dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, menegaskan bahwa ketenangan Hajar setelah mendapat jawaban afirmatif dari Ibrahim merupakan bukti keyakinan mendalam kepada keadilan dan kasih sayang Tuhan. Di sini, iman tidak hadir sebagai kepasrahan buta, melainkan sebagai kesadaran teologis yang matang.

Namun kebijaksanaan Siti Hajar tidak berhenti pada wilayah batin. Ketika air dan bekal habis, ia tidak larut dalam kepasrahan pasif. Ia berlari antara Shafa dan Marwah, mencari kemungkinan hidup bagi anaknya. Fakta bahwa ritual sa’i salah satu rukun haji diabadikan dari tindakan seorang ibu, memberi pesan teologis yang kuat: ikhtiar manusia adalah bagian integral dari ibadah. Al-Qurṭubi dalam al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān menafsirkan peristiwa ini sebagai legitimasi syar‘i atas usaha manusia dalam menghadapi situasi darurat kehidupan.
Tafsir modern memperkaya pembacaan ini dengan perspektif sosial dan antropologis.

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsīr al-Manār menekankan bahwa kisah Hajar mengajarkan etos kerja, keberanian moral, dan kepercayaan diri perempuan dalam ruang sejarah. Sementara itu, Fazlur Rahman melihat kisah Hajar sebagai contoh bagaimana wahyu bekerja melalui proses sejarah dan pengalaman manusiawi, bukan melalui mukjizat yang menafikan usaha.

Dalam konteks ini, Siti Hajar menjadi antitesis terhadap pandangan yang mereduksi perempuan dan khususnya ibu hanya sebagai pelengkap struktur patriarkal. Justru dari kegigihan seorang ibu lahir sumber kehidupan (Zamzam) dan pusat spiritual dunia Islam. Peradaban, dalam kisah ini, tidak dibangun dari istana kekuasaan, melainkan dari keteguhan seorang ibu yang berjuang di tengah keterasingan.

Lebih jauh, kebijaksanaan Siti Hajar juga dapat dibaca sebagai fondasi pendidikan karakter. Ismail AS tumbuh dalam atmosfer iman yang hidup, ketahanan psikologis, dan keteladanan moral. Dalam perspektif pendidikan Islam, sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, karakter anak lebih banyak dibentuk oleh contoh nyata dibanding nasihat verbal. Siti Hajar menghadirkan teladan itu dalam bentuk paling autentik: keberanian, cinta, dan tawakal aktif.

Di tengah krisis pengasuhan dan melemahnya institusi keluarga hari ini, kisah Siti Hajar relevan dibaca ulang sebagai kritik kultural. Ia mengajarkan bahwa peran ibu bukanlah peran pinggiran, melainkan jantung peradaban. Kebijaksanaan seorang ibu bukan hanya soal kelembutan, tetapi juga ketegasan eksistensial dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Akhirnya, Siti Hajar adalah simbol ibu yang bijak dalam makna paling utuh: ia mengintegrasikan iman, nalar, dan tindakan. Dari langkah-langkahnya yang cemas antara Shafa dan Marwah, lahir pelajaran abadi bahwa kehidupan tidak pernah tumbuh dari keputusasaan, melainkan dari keyakinan yang terus bergerak. Dalam diri Siti Hajar, keibuan menemukan martabatnya sebagai kekuatan moral dan spiritual yang membentuk arah sejarah umat manusia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *