Opini

Makassar di Antara Sampah dan KesadaranRefleksi Akhir Tahun 2025 dan Outlook Ekologi 2026

×

Makassar di Antara Sampah dan KesadaranRefleksi Akhir Tahun 2025 dan Outlook Ekologi 2026

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mashud Azikin

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Menjelang penutup tahun 2025, Makassar kembali berdiri di persimpangan lama: antara keberanian mengubah arah, atau sekadar mengulang rutinitas pengelolaan sampah yang sejak lama kita tahu tidak bekerja. Kota pesisir yang tumbuh cepat ini terus memproduksi persoalan ekologis secepat laju urbanisasinya. Sampah, banjir, pencemaran pesisir, dan degradasi ruang hidup bukan lagi peristiwa insidental, melainkan pola yang berulang dan makin menormal.

Adv

Tahun ini, Makassar menghasilkan lebih dari seribu ton sampah per hari. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan cermin kegagalan kolektif dalam memaknai kota sebagai ruang hidup bersama. Di TPA, di sungai, di pesisir, dan di sudut-sudut permukiman padat, sampah hadir sebagai bukti bahwa sistem masih lebih sibuk mengangkut daripada mengolah, lebih fokus membuang daripada mencegah.

2025: Tahun Kesadaran yang Terlambat

Sepanjang 2025, berbagai inisiatif terus bermunculan: bank sampah, kampanye pilah sampah, festival lingkungan, hingga edukasi berbasis komunitas. Namun, sebagian besar masih bergerak sebagai proyek, bukan sistem. Program datang dan pergi, sementara timbunan sampah terus bertambah.

Kita terlalu lama menempatkan pengelolaan sampah sebagai urusan teknis semata armada, TPA, dan anggaran tanpa menyentuh akar persoalan: pola konsumsi, tata ruang yang abai ekologi, dan minimnya kepemimpinan ekologis di tingkat kebijakan. Akibatnya, sungai-sungai seperti Tallo dan Jeneberang menanggung beban yang tak pernah mereka minta. Mangrove terkikis, pesisir tercemar, dan banjir musiman menjadi pengingat pahit bahwa alam selalu menagih utang yang kita tunda bayar.

Ekologi yang Selalu Kalah oleh Kepentingan Jangka Pendek

Makassar kerap merayakan pertumbuhan, tetapi jarang menghitung biaya ekologisnya. Ruang terbuka hijau menyusut, daerah resapan tergerus beton, dan pesisir diperlakukan sebagai ruang ekonomi tanpa batas. Di banyak kebijakan, ekologi masih diposisikan sebagai pelengkap, bukan fondasi.

Padahal, krisis persampahan bukan semata soal sampah. Ia adalah irisan dari krisis tata kelola kota, krisis partisipasi warga, dan krisis keberanian politik. Selama pendekatan masih parsial, selama komunitas hanya dijadikan pelengkap seremonial, dan selama regulasi tidak ditegakkan secara konsisten, maka krisis ini akan terus diwariskan dari satu tahun ke tahun berikutnya.

Outlook 2026: Dari Mengelola Sampah ke Mengelola Kesadaran

Tahun 2026 seharusnya menjadi titik balik. Makassar tidak lagi membutuhkan slogan baru, melainkan keberanian untuk menata ulang arah. Pengelolaan sampah harus berpindah dari hilir ke hulu: dari TPA ke rumah tangga, dari angkut-buang ke pilah-olah-manfaat.

Investasi terbesar bukan pada alat berat, tetapi pada manusia edukasi warga, penguatan komunitas, dan konsistensi kebijakan berbasis lingkungan. Program seperti TPS3R, bank sampah, pengolahan organik, dan ekonomi sirkular harus diposisikan sebagai sistem kota, bukan proyek berbasis anggaran tahunan.

Lebih jauh, isu persampahan harus diikat dengan agenda besar penyelamatan ekologi kota: pemulihan sungai, perlindungan mangrove, penataan pesisir, dan pengendalian tata ruang. Tanpa itu, pengelolaan sampah hanya akan menjadi tambal sulam atas luka ekologis yang terus melebar.

Menutup Tahun, Membuka Keberanian

Refleksi akhir tahun sejatinya bukan sekadar menilai apa yang sudah dilakukan, tetapi keberanian mengakui apa yang gagal. Makassar telah cukup lama hidup berdampingan dengan sampah, seolah itu takdir kota besar. Padahal, itu adalah pilihan kebijakan dan setiap pilihan selalu bisa diubah.

Tahun 2026 harus menjadi tahun keberanian ekologis: berani tegas pada pelanggaran, berani berpihak pada lingkungan, dan berani menjadikan warga sebagai subjek perubahan. Jika tidak, maka satu dekade ke depan, kita hanya akan menulis refleksi yang sama dengan tumpukan sampah yang lebih tinggi dan ruang hidup yang semakin sempit.

Makassar masih punya waktu. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu, melainkan apakah kita mau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *