Opini

Mengelola Sampah demi Kesehatan, Bukan Sekadar Ekonomi

×

Mengelola Sampah demi Kesehatan, Bukan Sekadar Ekonomi

Sebarkan artikel ini
Keterangan Gambar: Walikota Makassar Munafri Arifuddin, Ketua Dewan Lingkungan Kota Makassar, Melinda Aksa berfoto bersama "Pandawara Grup" Gilang dan Rafli dalam penutupan Festival Daur Bumi 2025 yang digelar 12-14 Desember 2025 di Balai Prajurit M. Jusuf Kota Makassar.

Oleh: Mashud Azikin

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Webinar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang baru saja merilis Waste and Health Report 2025, sejatinya tidak menghadirkan kejutan besar. Hampir seluruh temuannya telah lama menjadi percakapan di ruang-ruang kebijakan dan diskursus publik Indonesia. Masalahnya bukan pada absennya pengetahuan, melainkan pada minimnya keberanian dan konsistensi untuk mengerjakannya secara sistematis, terpadu, dan berorientasi pada perlindungan kesehatan masyarakat.

Adv

WHO kembali menegaskan satu hal mendasar: pengelolaan sampah bukan isu teknis semata, apalagi sekadar peluang ekonomi. Ia adalah isu kesehatan publik dan ekologi hidup. Jika salah arah, dampaknya bukan hanya pada tumpukan sampah, tetapi pada kualitas udara, air, tanah, dan pada akhirnya tubuh manusia itu sendiri.

Kesehatan sebagai Poros Kebijakan

Laporan WHO menempatkan health agency sebagai aktor vital dalam reformasi pengelolaan sampah. Pesannya jelas: kesehatan tidak boleh ditempatkan di hilir, apalagi sekadar menjadi dampak yang “ditangani belakangan”. Kesehatan harus menjadi poros sejak perencanaan.

Dalam konteks Indonesia, pesan ini sesungguhnya sejalan dengan mandat Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Namun dalam praktik beberapa tahun terakhir, orientasi itu sering terdistorsi. Sampah kerap diposisikan sebagai sumber daya ekonomi semata—bahan bakar, komoditas daur ulang, bahkan peluang investasi tanpa terlebih dahulu memastikan aspek perlindungan kesehatan masyarakatnya.

Padahal sejarah global menunjukkan pola yang konsisten. Evolusi pengelolaan sampah sejak 1970 hingga 2020 di berbagai negara bergerak dari fase krisis kesehatan, menuju penguatan sistem pengumpulan, pemilahan dasar, pengurangan timbulan, dan barulah kemudian masuk ke tahap pemanfaatan. Negara-negara yang berhasil adalah mereka yang menjalankan fase-fase itu secara disiplin dan berkesinambungan.

Indonesia sebenarnya telah merumuskan platform kebijakan yang hampir identik. Bedanya satu: konsistensi eksekusi.

Meluruskan Makna Circular Economy

Salah satu catatan penting dalam webinar tersebut adalah kekeliruan umum dalam menerjemahkan konsep circular economy. Dewan lingkungan WHO menegaskan bahwa dalam konteks pengelolaan sampah sebagai bagian dari pengelolaan lingkungan, orientasinya adalah benefit, bukan profit.

Circular economy bukan lisensi untuk membenarkan semua bentuk pengolahan sampah yang menjanjikan keuntungan finansial, tetapi mengabaikan risiko kesehatan. Demikian pula, zero waste tidak pernah berarti zero cost. Justru sebaliknya, ia menuntut investasi serius pada sistem, edukasi, infrastruktur, dan tata kelola.

Ketika pesan ini dibalik ketika keuntungan ekonomi diletakkan di depan perlindungan kesehatan maka yang lahir adalah kebijakan yang tampak progresif di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan. Dampaknya dirasakan oleh warga: pembakaran terbuka, pencemaran mikroplastik, hingga paparan bahan berbahaya yang pelan-pelan menggerogoti kualitas hidup.

Memulai dari yang Paling Dasar

WHO menekankan bahwa fase awal yang paling krusial adalah pemilahan sampah organik dan sampah yang dapat digunakan kembali (reusable). Ini bukan gagasan baru, tetapi sering diabaikan karena dianggap terlalu “sederhana” atau “kurang inovatif”.

Padahal, tanpa pemilahan dasar, semua teknologi lanjutan akan gagal. Sampah organik yang tercampur menciptakan lindi berbahaya, mempercepat pembusukan, dan menjadi sumber penyakit. Sampah yang seharusnya dapat digunakan ulang justru berakhir di TPA atau dibakar.

Karena itu, prioritas perbaikan menurut WHO adalah pada waste collection dan reduction. Mengumpulkan sampah secara aman dan mereduksi timbulan di sumbernya jauh lebih berdampak bagi kesehatan publik dibandingkan mengejar proyek-proyek pengolahan skala besar yang belum tentu relevan dengan kondisi lokal.

Tantangan Data dan Budaya

Tantangan utama negara berkembang, termasuk Indonesia, terletak pada kelangkaan data dan lemahnya analisis. Tanpa data yang memadai, strategi pengelolaan sampah mudah terjebak pada pendekatan seragam yang tidak kontekstual.

Namun, tantangan yang tak kalah besar adalah komunikasi. Semua prinsip ini hanya akan efektif jika mampu diterjemahkan menjadi kebijakan yang dipahami, diterima, dan dijalankan sebagai budaya. Bukan sekadar program jangka pendek atau jargon kampanye.

Pengelolaan sampah yang sehat menuntut perubahan cara pandang: dari “menghabiskan sampah” menjadi “melindungi kehidupan”. Dari mengejar sensasi inovasi, menuju ketekunan membangun sistem dasar.

Menempatkan Kesehatan di Depan

Laporan WHO 2025 sesungguhnya sedang mengingatkan kita pada hal yang nyaris terlupakan: bahwa tujuan akhir pengelolaan sampah bukanlah efisiensi ekonomi, melainkan keselamatan manusia dan keberlanjutan ekologi.

Indonesia tidak kekurangan regulasi, tidak pula miskin pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menempatkan kesehatan sebagai kompas utama, dan konsistensi untuk menjalankan apa yang sebenarnya sudah kita sepakati sejak lama.

Sampah adalah cermin peradaban. Cara kita mengelolanya hari ini akan menentukan kualitas hidup generasi esok.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *