LingkunganOpini

Sabda Alam dari Pesisir Danau Towuti: “Refleksi Ekoteologi tentang Iman dan Keseimbangan”

×

Sabda Alam dari Pesisir Danau Towuti: “Refleksi Ekoteologi tentang Iman dan Keseimbangan”

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muh Aynul Yaqin

Opini Publik, Potretnusantara.co.id-

Adv

Setiap pagi, saya selalu disambut pemandangan yang tak pernah gagal membuat saya kagum, permukaan Danau Towuti yang berkilau memantulkan langit biru, seperti cermin raksasa yang menampakkan wajah Sang Pencipta.

Saya lahir dan tumbuh di pesisir Danau ini. Sejak kecil, hidup saya bergantung pada alam sekitarnya (untuk mandi, mencuci, bahkan mencari rezeki). Bagi kami, Danau Towuti bukan sekadar danau, melainkan bagian dari kehidupan, dari doa, dari iman. Seiring perjalanan waktu, saya mulai melihat perubahan yang mengusik hati. Air yang dulu Jernih kini keruh di beberapa titik, Ikan-ikan berkurang, dan sampah plastik mulai menghiasi tepiannya. Di sinilah saya bertanya, apakah ini tanda bahwa kita telah lupa cara beriman kepada Tuhan lewat Alam?

Alam adalah sistem kehidupan yang bekerja dengan presisi. Setiap unsur saling bergantung dalam jaringan keseimbangan Energi dan Materi. Dari sirkulasi air yang mengatur iklim hingga proses fotosintesis yang menopang kehidupan, semuanya menunjukkan adanya keteraturan yang bukan kebetulan. Dalam harmoni itu, alam menyampaikan sabdanya tentang keseimbangan, tanggungjawab, dan kesadaran ekologis manusia.

Ketika satu rantai terganggu, seluruh sistem ikut terpengaruh, seolah alam sedang menegur lewat bencana, kekeringan, atau perubahan iklim. Maka, sabda alam sejatinya pelajaran kebijaksanaan bahwa “menjaga alam berarti menjaga kehidupan, manusia dan alam berbicara dalam bahasa keseimbangan yang sama”.

Alam tidak pernah marah tanpa sebab, ia hanya menegur ketika manusia lupa bersyukur. Sabda alam bukan sekadar desir Angin dan Ombak, melainkan pesan tentang keteraturan semesta “Siapa yang menjaga alam akan dijaga, dan siapa yang merusak alam akan menerima balasan”.

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana “sabda” itu hadir. Suatu sore, saya ikut kegiatan bersih-bersih di tepi Danau bersama para Pemuda di kampung halaman. Kami memungut botol dan plastik yang tersangkut di akar pohon. Seorang teman berujar; “Kalau bukan kita yang menjaga Danau ini, siapa lagi?” Kalimat itu sederhana tapi menampar kesadaran saya.

Saya menyadari bahwa menjaga kebersihan bukan hanya urusan Sosial, tapi juga Spiritual. Dalam setiap genggaman Sampah, saya merasa sedang menebus kelalaian manusia terhadap ciptaan-Nya. Disitulah saya memahami bahwa Ekoteologi bukan teori yang jauh dari kehidupan, melainkan cara memaknai Iman melalui Alam yang nyata.

Kerusakan lingkungan bukan sekadar masalah Teknologi atau Ekonomi, namun juga masalah krisis Spiritual. Kita terlalu sibuk menciptakan Dunia buatan hingga lupa menghormati ciptaan Tuhan. Padahal, Allah swt telah berfirman dalam (QS. Ar-Rum: 41): “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia”.

Ayat ini seperti teguran yang hidup di sekitar kami di pesisir Danau Towuti tentang tanggungjawab manusia sebagai khalifah di bumi. Ketika air Danau mengering atau Ikan berkurang, mungkin itu bukan sekadar fenomena alam, melainkan peringatan spiritual agar kita kembali pada kesadaran Tauhid Ekologis.

Saya teringat dengan ucapan seorang Ustaz dalam suatu pengajian; “Ketika kamu menjaga air tetap bersih, berarti kamu sedang menjaga berkah Allah tetap mengalir.” Sejak saat itu, saya melihat Danau bukan lagi sekadar Air dan Ikan, tetapi ia adalah Ayat-ayat Tuhan yang terbentang. Setiap riak air seperti dzikir yang mengingatkan manusia agar tidak sombong di hadapan ciptaan Allah Swt.

Menjaga Danau bukan sekadar aksi lingkungan, tapi sebuah Ibadah. Alam menjadi cerminan iman, ketika kita menjaganya berarti kita sedang merawat hubungan kita dengan Tuhan. Sejak saat itu, saya mencoba memulai dari hal kecil; mengurangi penggunaan plastik, mengingatkan teman agar tidak membuang sampah ke Danau maupun lingkungan sekitar, serta ikut menanam Pohon di sekitar Danau.

Tindakan ini mungkin kecil di mata orang lain, tapi bagi saya setiap langkah adalah Doa. Iman yang tak peduli pada alam adalah iman yang kehilangan “Ruh kasih sayang”. Kini, setiap kali Matahari tenggelam di ufuk Barat Danau Towuti dan airnya berubah keemasan, saya merasa damai. Di pantulan air itu, saya melihat bayangan diri sekaligus cerminan saya.

Danau Towuti mengajarkan bahwa sabda alam sesungguhnya adalah panggilan Tuhan agar manusia hidup selaras dengan ciptaan Allah Swt. Sebab siapa yang menjaga alam akan dijaga, dan siapa yang merusaknya akan kehilangan berkah. Di Pesisir Towuti, saya belajar pada satu hal, bahwa “Beriman bukan hanya soal Do’a di atas Sajadah, namun juga Kepedulian pada setiap Tetes Air yang memberi Kehidupan”…

(Tulisan ini masuk dalam jajaran 20 Besar Esai terbaik dari Kompetisi Penulisan Esai yang diadakan oleh UIN KHAS Jember dan akan dibukukan dalam Antologi Esai Ekoteologi)

Editor: S,,,,,,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *