Opini

Bersenjata Pena dan Nurani

×

Bersenjata Pena dan Nurani

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Tammasse, M.Hum.

Cahaya yang Tak Takut Gelap

Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Tidak semua keberanian berbentuk pedang. Ada keberanian yang lahir dari pena, dari pikiran yang tak mau tunduk, dari suara yang tetap jernih di tengah kebisingan dunia.

Di kampus yang dipenuhi kecerdasan dan persaingan, ada satu sosok yang tidak berjuang untuk nama, melainkan untuk makna. Ia tidak mendaki untuk duduk di puncak, tapi untuk melihat lebih luas dan memandu yang lain mendaki.
Sosok itu bernama Profesor Sukardi Weda.

Ilmu yang Bertuah, Pikiran yang Membumi

Siapa tak mengenalnya? Gelar akademiknya panjang, lebih panjang dari namanya sendiri, namun langkahnya selalu sederhana. Ia pernah menahkodai Program Studi Bahasa Inggris FBS UNM, kemudian menjadi Ketua Prodi S2 Bahasa Inggris, Wakil Dekan III FBS, dan bahkan Wakil Rektor III Universitas Negeri Makassar.

Namun, jabatan baginya bukan kursi kekuasaan, melainkan ladang pengabdian. Ia menanam kerja keras, menyiramnya dengan dedikasi, dan menuai penghormatan dari keikhlasan yang tulus. Bagi beliau, ilmu bukan untuk meninggi, tetapi untuk menundukkan hati di hadapan Tuhan dan sesama.

Penulis dan Peneliti Andal
yang Menghidupkan Kata

Dunia akademik mengenalnya bukan hanya sebagai dosen dan pemimpin, tetapi juga penulis dan peneliti andal. Tangannya telah melahirkan puluhan karya ilmiah dan buku yang memperkaya khazanah pengetahuan dan budaya Indonesia.

Beberapa di antaranya bahkan saya tulis bersama beliau di antaranya buku Perahu Phinisi, Songkok Recca’, dan Mengenal Jurnalistik. Menulis bersama beliau adalah pengalaman spiritual tersendiri: kami tidak hanya menyusun kalimat, tetapi menenun nilai; tidak hanya menulis buku, tetapi menulis jiwa bangsa.

Ia selalu mengatakan,

“Ilmu itu bukan sekadar pengetahuan. Ia adalah cahaya. Siapa yang membawa cahaya, harus siap terbakar sedikit demi menerangi jalan orang lain.”

Keberanian Melangkah di Jalan Sunyi

Kini, Profesor Sukardi Weda melangkah ke medan yang lebih luas dan lebih sunyi mencalonkan diri sebagai bakal Rektor Universitas Hasanuddin. Langkah ini bukan perkara mudah. Banyak yang memilih diam, banyak yang berhitung aman, tapi ia memilih berjalan dengan tenang di atas keyakinannya sendiri.

Ia datang bukan membawa kepentingan, tapi membawa visi:
menjadikan kampus sebagai rumah akal dan hati, tempat ilmu pengetahuan menyatu dengan kemanusiaan.
Ia percaya, universitas bukan menara gading, melainkan mercusuar yang menuntun bangsa dalam badai perubahan.

Jembatan antara Ilmu dan Cinta

Profesor Sukardi Weda adalah arsitek jembatan – antara ilmu dan kehidupan, antara logika dan empati, antara kepala dan hati.
Ia mengajarkan bahwa kecerdasan sejati bukan terletak pada jumlah teori yang dihafal, melainkan pada seberapa dalam kita memahami makna manusia.

Dalam setiap kalimatnya, selalu ada kesejukan seorang guru dan ketegasan seorang pejuang. Ia mengajarkan dengan kelembutan, namun meninggalkan bekas yang kuat dalam sanubari muridnya.
Seperti embun yang lembut tapi mampu menumbuhkan benih kehidupan.

Pena yang Menjadi Pedang Nurani

Ia tidak berperang dengan teriakan, tetapi dengan tulisan. Ia tidak menaklukkan orang lain, tetapi menaklukkan egonya sendiri.
Ia tidak mengumpulkan pengikut, tetapi menumbuhkan kesadaran.

Profesor Sukardi Weda membuktikan bahwa pena bisa lebih tajam dari pedang,
karena dari pena lahir pemikiran yang mampu mengguncang zaman tanpa setetes darah pun tumpah.

Ia adalah bukti bahwa ilmu, jika dipandu oleh hati, bisa menjadi kekuatan yang menenangkan, bukan menindas; menghidupkan, bukan menghakimi.


Keberanian yang Menyala Tanpa Api

Setiap zaman membutuhkan seorang pemberani —
bukan yang bersuara paling keras,
tetapi yang paling jernih menjaga nuraninya.

Profesor Sukardi Weda adalah sosok itu.
Ia berjalan tanpa gembar-gembor, namun langkahnya meninggalkan gema panjang.
Ia tidak menaklukkan dunia, ia memeluknya dengan pikiran dan kasih.

Bagi saya, menulis bersamanya adalah kehormatan, mengenalnya adalah pelajaran,
dan menyaksikan keberaniannya adalah pengingat bahwa

kehidupan bukan untuk mencari tempat yang nyaman, tetapi untuk menciptakan tempat yang berarti.

Dialah Profesor Pemberani yang menyalakan cahaya pengetahuan tanpa takut pada gelapnya zaman, dan mengajarkan bahwa keberanian terbesar manusia adalah
tetap menjadi diri sendiri di tengah arus yang menuntut seragam. [HTB]
——————————————————-
Seat 45J, Garuda GA 615, 9 Oktober 2025
Pk. 11.12 WITA
(……….. jelang boarding ……. Jakarta – Korea)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Translate »