Refleksi atas Tawuran yang Muncul di Makassar
Oleh: Mashud Azikin
Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Makassar, kota yang dikenal dengan keberanian dan solidaritas warganya, beberapa hari terakhir kembali diwarnai berita tawuran antar kelompok. Jalan-jalan tertentu yang biasanya menjadi ruang lalu lintas warga berubah sejenak menjadi arena pertikaian. Batu dilempar, parang terhunus, teriakan pecah di udara. Situasi ini menyisakan luka bukan hanya pada mereka yang terlibat, tetapi juga pada wajah kota yang kita cintai bersama.
Di tengah suasana seperti ini, ada satu kalimat sederhana yang patut direnungkan: “Hubungan keluarga bukan hanya terjadi karena ada pertautan darah, bisa juga karena pertautan hati.”
Kalimat ini, yang sepintas terdengar puitis, justru menjadi jawaban atas kegaduhan sosial yang kita hadapi. Sebab, konflik hanya tumbuh ketika kita lupa bahwa sesama manusia sejatinya adalah saudara. Kita terlalu sering memandang orang lain sebagai lawan, bukan sebagai bagian dari keluarga besar yang harus dijaga.
Tawuran dan Retaknya Pertautan Hati
Apa yang sesungguhnya terjadi dalam tawuran? Bukan sekadar benturan fisik, melainkan retaknya ikatan sosial. Padahal, banyak dari mereka yang terlibat mungkin tinggal di kelurahan yang sama, besar di lorong yang berdekatan, bahkan memiliki ikatan keluarga jauh.
Darah boleh saja mengikat kita sebagai sesama orang Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, atau etnis lain yang tinggal di kota ini. Namun, darah tidak cukup kuat jika hati tidak tertaut. Ketika hati tercerai-berai oleh gengsi, harga diri semu, atau dendam lama, maka darah sekalipun bisa berubah menjadi bara.
Menemukan Keluarga dalam Pertautan Hati
Sebaliknya, kita juga melihat contoh yang berbeda. Di banyak kampung di Makassar, ketika tawuran pecah, para ibu berbondong-bondong keluar rumah, berteriak memanggil anak-anak muda untuk berhenti. Para tokoh masyarakat mendatangi lokasi, merangkul pemuda yang masih panas, menenangkan dengan kata-kata sederhana: “Jangan lagi mi, Nak. Kita ini semua keluarga.”
Ungkapan itu sederhana, tetapi sakral. Ia mengingatkan bahwa kita ini memang satu keluarga besar, meski tak semua terhubung lewat darah. Kita disatukan oleh pertautan hati, oleh sejarah yang sama, oleh tanah yang sama yang kita injak: Makassar.
Falsafah Bugis-Makassar sudah lama mengajarkan, “Malilu sipakainge’, rebba sipatokkong, malempuk sipakainge’.” Artinya, bila ada yang khilaf diingatkan; bila ada yang jatuh dibangunkan; bila ada yang lemah dikuatkan. Kalimat ini sejatinya adalah definisi dari keluarga sejati—keluarga yang dibangun atas dasar hati, bukan sekadar garis keturunan.
Ruang Spiritual yang Hilang
Mengapa tawuran bisa begitu mudah meletus? Salah satunya karena ruang spiritual dalam hubungan antarwarga mulai hilang. Kita lupa bahwa kota ini bukan hanya sekumpulan lorong dan jalan, melainkan sebuah rumah bersama.
Jika kita mau menautkan hati, setiap lorong bisa menjadi ruang keluarga: tempat anak-anak bermain bersama tanpa takut, tempat pemuda berkumpul untuk berkarya, dan tempat orang tua menua dengan damai. Namun, jika pertautan hati hilang, lorong yang sama bisa menjadi arena saling menyerang.
Menutup dengan Harapan
Makassar adalah kota yang dikenal dengan jiwa besar dan solidaritas warganya. Sejarah panjang kota ini penuh dengan kisah persaudaraan dan gotong royong. Jangan biarkan tawuran menodai itu semua.
Pada akhirnya, darah memberi kita akar, tetapi hati memberi kita sayap. Kita memang berbeda lorong, berbeda kampung, bahkan berbeda latar belakang, tetapi hati yang tertaut akan menjadikan kita keluarga besar yang saling menjaga.
Sultan Hasanuddin, Sang Ayam Jantan dari Timur, pernah berpesan: “Jangan biarkan perbedaan membuat kita tercerai. Sebab, kekuatan sejati Makassar ada pada persatuan hati rakyatnya.” Pesan ini bergema hingga kini, menjadi pengingat bahwa pertautan hati lebih perkasa daripada ikatan darah semata.
Mungkin inilah doa terbaik bagi kota ini: semoga pertautan hati kembali tumbuh di antara warganya. Semoga Makassar bisa menjadi rumah yang damai, di mana setiap orang bisa memanggil yang lain dengan sebutan paling indah: saudara.