Oleh: Aslam Katutu
Opini Publik, Potretnusantara.co.id – Terpaksa saya mengeluarkan gaya silat, untuk merespon prasangka Ibu Ketua Penggerak PKK Kota Makassar, Melinda Aksa. Buru-buru saya menunjukkan bahwa ini adalah Cabe Katokkon bukan strawberry. Hehehe.
Kegiatan kecil yang sedikit lucu, ketika rombongan Walikota Makassar yang telah melakukan seremonial melaunching Gerakan Urban Farming di dalam Masjid Bin Baz. Utamanya ibu-ibu, ketika melihat pohon dengan buah berwarna merah bergantungan dan bungkusan plastik berisi buah segar, serta merta menyangka itu adalah buah strawberry padahal Cabe Katokkon.
Salah satu produk unggulan yang akan dikembangkan di Urban Farming Bukit Baruga adalah Cabe Katokkon. Disamping produk unggulan lain; Buah Anggur dan Ayam Kampung Yudistira.
Cabe Katokkon adalah penelitian Prof. Sudirman Numba, sebagai Inisiator Gerakan Urban Farming di Bukit Baruga. Komunitas ini sedang dikembangkan di Malino di dataran tinggi dan akan dikembangkan juga di kawasan Bukit Baruga di dataran rendah, mohon maaf namanya saja Bukit namun masih berada di dataran rendah di Kota Makassar.
Selain pembibitan cabe katokkon, juga dihasilkan produk cabe segar yang dikemas dalam plastic mika seberat 250 gram dan juga memproduk olahannya menjadi sambel Katokkon dalam botol kaca berukuran 250 Ml. Inilah salah produk unggukan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rumah tangga. Dan bisa diproduksi oleh ibu-ibu rumah tangga dan menghasilkan cuan.
Apa itu cabe katokkon ?
Api dari Tanah Tinggi
Di dataran tinggi Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tumbuh sebuah varietas cabai yang bagi masyarakat setempat dianggap lebih dari sekadar bumbu dapur. Ia disebut Cabe Katokkon. Bentuknya tidak seperti cabai pada umumnya. Tubuhnya gemuk, gempal, dan padat berisi, dengan kulit tebal berwarna hijau tua saat muda, lalu berubah menjadi merah menyala ketika matang.
Orang Toraja menyebutnya permata pedas pegunungan, karena aromanya kuat, rasanya tajam, dan pedasnya khas: menghantam lidah, tapi tetap meninggalkan jejak gurih yang membuat masakan lebih hidup. Dibandingkan cabai rawit biasa, pedas Katokkon memiliki karakter yang dalam, tidak sekadar menyengat, tapi hangatnya bertahan lama di mulut dan perut.
Dari Toraja ke Dunia
Kini, Katokkon mulai dikenal di luar tanah kelahirannya. Banyak wisatawan yang pulang membawa Katokkon sebagai buah tangan. Bahkan, permintaan ekspor mulai meningkat karena dunia kuliner internasional tertarik pada keunikan cabai ini.
Namun, bagi masyarakat Toraja, Katokkon tetaplah identitas. Ia bukan sekadar komoditas, melainkan simbol keteguhan dan kekuatan: kecil, sederhana, tetapi menyimpan daya ledak yang luar biasa mirip dengan orang Toraja itu sendiri yang gigih mempertahankan budaya di tengah arus modernitas.